Rabu, 24 Mei 2017

MAKALAH; FIQH PERBANDINGAN; Asbab Al-Ikhtilaf (Sebab-Sebab Perbedaan )



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Perbedaan adalah salah satu yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Ia merupakan sunnatullah yang berlaku sepanjang masa. Termasuk yang tidak bisa dielakkan adalah perbedaan pendapat sekalipun dalam masalah pemahaman atau penafsiran hukum-hukum agama. Karena perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan, maka hal tersebut tidak perlu disesalkan  dan menjadi sebab kita berpeca belah dan bercerai-berai. Perbedaan harus ‘disyukuri’ dan merupakan rahmat bagi umat islam. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah selalu dalam hal penerapannya pada masa awal Islam. Pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.
1
Perbedaan itu tentu bukan semata-mata karena sesuatu yang tidak jelas atau sekedar ingin mempertahankan pendapat masing-pasing saja. Akan tetapi memiliki alasan tersendiri dan tentunya tetap sejalan dengan ajaran Islam. Untuk itu penulis tertarik membahas masalah apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan dikalangan para ulama dalam menentukan hukum yang berlaku dari setiap permaslaahan yang timbul dengan judul “Asbab Al- Ikhtilaf”. Agar penulis dan pembaca mengetahui penyebab terjadinya perbedaan yang timbul dikalangan ulama. Dan mudah menerima perbedaan yang ada.
1.2         Rumusan Masalah
1.2.1   Apa yang dimaksud dengan asbab al-ikhtilaf?
1.2.2   Apa saja yang termasuk sebagai tempat terjadinya al-ikhtilaf?
1.2.3   Bagaimana al-ikhtilaf dalam penafsiran al-qur’an?
1.2.4   Apa yang menyebabkan terjadinya al-ikhtilaf?
1.3         Tujuan
1.3.1   Untuk mengetahui definisi dari asbab al-ikhtilaf.
1.3.2    Untuk mengetahui tempat terjadinya al-ikhtilaf.
1.3.3   Untuk mengetahui al-ikhtilaf dalam penafsiran al-qur’an.
1.3.4   Untuk mengetahui sebab terjadinya al-ikhtilaf.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1          Pengertian Asbab Al-Ikhtilaf (Sebab-Sebab Perbedaan )
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan(خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada al-dhiddu (الضد), sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ). [1]
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatau obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara deamitral. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.
3
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fukaha) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah (perbedaan), bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukaha tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.[2]
2.2         Tempat  Terjadinya Al- Ikhtilaf
Karena sumber-sumber Islam pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-Qur’an, al sunnah, dan ijtihad sahabat, termasuk qiyas, ra’yu, dan ijma’ sahabat, dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam Abbas Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu:[3]
2.2.1   Al-Qur’an, penyebabnya adalah sebagai berikut :
2.2.1.1       Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur’an dan adanya upaya mereka untuk mencegah perentangan itu.
2.2.1.2       Perbedaan dalam memahami ayat-ayat global.
2.2.1.3       Sebagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang bermaksud kontekstual.
2.2.1.4       Sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan atau menganggap nash lain sebagainya pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.
2.2.1.5       Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.
2.2.2   Al-Sunnah, seperti diungkapkan oleh waliyullah al-Dahlawi.
2.2.2.1       Sampainya suatu hadis (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra’yunya.
2.2.2.2       Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.
2.2.2.3       Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
2.2.2.4       Perbedaan persepsi antara antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (Sunnah Qauliyah).
2.2.2.5       Perbedaan dalam menentukan ‘illat hukum suatu sunnah.
2.2.2.6       Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunah yang saling kontradiksi.
2.2.3   Ijtihad
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu ini tidak biasa dilepaskan dari perbedaan yang ada di antara mereka berbagai hal termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya.[4]
Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :
2.2.3.1       Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan merupakan tempat terjadinya masalah khilafiyah.
2.2.3.2       Hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni ad-dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).
2.2.3.3       Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.[5]

Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa, namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka salah, akan mendapatkan satu pahala. Tentu saja ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang berkompeten dan capable untuk itu.
2.3         Al- Ikhtilaf  Dalam Penafsiran Al-Qur’an
DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan tetapi, sebagaimana akan diuraikan kemudian dari sisi lain, ikhtilaf sendiri kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
2.3.1   Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif).
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah :
2.3.1.1       sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih, atau
2.3.1.2       makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda, atau
2.3.1.3       terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilaf tanawwu seperti beberapa penafsiran Mufassir mengenai tafsir ashirotol mustaqim dalam surah Al-Fatihah. Keika kita mencoba menengok Tafsir Al-Khozin kita kan temui bahwa beliau Syaikh Alauddin menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik), kemudian beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan Shirotol Mustaqim dengan agama islam. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi, beliau menjadikan kitab allah sebagai makna penafsiran dari shirotol Mustaqim, juga kemudian mengutip penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud  Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju syurga. Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak saling menafikan satu sama lain karena Al-qur’an merupakan sumber petunjuk bagi orang islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan dunia akhirat dan masuk syurga dihari kemudian.
2.3.2   Ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif).
Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.[6]
Sebagai contoh adalah ikhtilaf  antara Imam Asy-Syafi’I dengan Imam Ahmad yang terdapat dalam surah An-nisa ayat 43:

Terjemahanya:
Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya allah maha pema’af lagi maha pengampun.[7]
Lafaz أَولَمَسْتُمُ النِّسَاءَ, menurut Imam Asy-syafi’I menyentuh disitu dalah makna hakiki karena tidak ada illat atau sebab dan qarinahi atau petunjuk yang mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majaz. Karenanya menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat Majazy berdasarkan pada surah Al-Baqarah ayat 237:






Terjemahanya:
Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menetukan maharnya maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya…[8]
Karena menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun berdosa jika bukan mahramnya karena hukum keduanya memang berbeda.
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash (tafsir bil Ma’tsur), dan ikhtilaf yang didasari oleh selain nash (tafsir bil ra’yi). Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi.
2.3.1        Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash atau riwayat yang tidak sepakat dalam mengukapkan penjelasan terhadap suatu ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan misalnya beberapa penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang secara sekilas nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab berikut:
2.3.1.1  ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan yang berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang dimaksud.
Contoh paling sederhana misalnya adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum al-Qiyamah). Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya yang lain, tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum al-Taghabun” (Hari saling menuntut). Dimana setiap kata ini memiliki makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kategori ini dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak saling kontradiktif, dan bukan ikhtilaf tadhadh.
2.3.1.2  al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum, lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu bagiannya yang khusus saja. Seperti dalam surah faathir ayat 32 :




Terjemahnnya:
Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba kami, lalu diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu membuat kebaikan dengan izin allah swt. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.[9]
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan menemukan perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan waktu namun ketinggalan jamaah, sementara yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim adalah yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain seputar ini.
2.3.2   Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
Landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
2.3.2.1  meyakini makna tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu.
Salah satu contoh paling jelas misalnya apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf ayat 4:


Terjemahannya:
(Ingatlah), ketika yusuf berkata kepada ayahnya,” wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) meliht sebuah bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.[10]
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an.
Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Kisah ini setidaknya menunjukkan 2 hal penting:
2.3.2.1.1        Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2.3.2.1.2        Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.[11]
2.4         Pokok-Pokok Sebab Terjadi Al-Ikhtilaf
Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi sejak masa sahabat, ikhtilaf itu terjadi karena perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
            Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negeri yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.
            Sampai saat ini fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbahtkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada dzahir nash, antara yang mewajibkan bermazhab dan yang melarangnya. Perbedaan pendapat dikalangan ummat ini, sampai kapanpun dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan hal iini menunjukkan kedinamisan hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
            Di antara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama (Mujtahidin) adalah sebagai berikut:
2.4.1   Sebab-Sebab Eksternal
2.4.1.1       Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana telah disebutkan diatas, bahewa para sahabat telah berpencar-pencar keberbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang hadis nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat nabi dapat djumpai, tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya, karena pergaulannya dengan rasullullah ikut menentukan banyak sedikitnya hadis yang diterima.
2.4.1.2       Diantara ulama dan ummat islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku umum atau untuk orang tertentu saja. Apakah perintah itu untuk selama-lamnya atau hanya bersifat sementara.
2.4.1.3       Diantara ulama dan ummat islam kurang memperhatikan dan mempelajari, bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
2.4.1.4       Diantara ulama dan ummat islam banyak yang terpengaruh oleh pendapat yang dterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan “telah terjadi ijmak”, pada masalah-masalah yang tidak pernah terjadi ijmak.
2.4.1.5       Diantara ulama ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunnatkan, sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliyah yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan.
2.4.1.6       Para sahabat yang tinggal terpencar-pencar diseluuh pelosok negeri, ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengigatkan diantara sahabat-sahabat itu tidak ada.
2.4.1.7       Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum islam.
2.4.2   Sebab-Sebab Internal
2.4.2.1       Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari rasullullah itu melewati banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu dengan yang lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang yang mantap hatinya mempercayai perawinya maka hadis tersebut dijadikan landasan penetapan. Begitu juga sebaliknya bagi orang yang tidak mempercayai perawinya akan menyampingkan hadis tersebut.
2.4.2.2       Perbedaan penggunaan sumber hukum
Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan tidak sama dalam penggunaan sumbernya. umpamanya:
2.4.2.2.1          Dalam masalah hadis
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum tidak diperselisihkan oleh para mujtahid (fukaha). Akan tetapi yang mereka perselisihkan adalah dari segi sampa atau idaknya suatu hadis, percaya atau tidak terhadap seorang perawi, sahih atau tidak suatu hadis.
2.4.2.2.2          Dalam masalah Ijmak
Sebagai contoh dalam masalah ijmak yaitu dalam hal menjatuhkan talak 3 sekaligus. Jumhur Fuqaha mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus jatuh tiga juga dengan alasan telah ijmak pada masa khalifah Umar, sedangkan ulama yang mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus, hanya jatuh satu dengan alasan, telah ijmak pada masa Nabi dan Abu Bakar.
2.4.2.2.3          Istihsan
Imam Hanafi mempergunakan Istihsan dalam menetapkan sebagian hukum, sedang Imam Syafi’i tidak memakainya. Sebagai contoh: menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh membaca al-qur’an bagi orang sedang haid, karena orang yang haid itu sama dengan orang junub. Sedang menurut Imam Hanafi dibolehkan membacanya.
2.4.2.2.4          Maslahah Mursalah
Penetapan hukum dengan Maslahah Mursalah adalah melihat kepentingan umum, walaupun kelihatannya menyimpan dari ketentuan yang biasa berlaku.
Sebagai contoh: menjatuhkan hukuman mati atas suatu kaum atau kelompok manusia yang membunuh satu orang, bisa bisa dijatuhi hukuman mati menurut Fuqaha Hanafiah, Malik dan Syafi’i untuk menghindari usaha jahat dari kelompok tertentu yang ingin melakukan pembunuhan dengan cara sengaja.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali, tidak boleh dijatuhi hukuman mati, karena tidak sepadan.
2.4.2.2.5          Urf
Urf biasanya diarikan dengan kebiasaan, apakah kebiasaan itu baik atau buruk. Sebenarnya penggunaan urf berkaitan erat dengan maslahah mursalah, hanya saja hukum-hukum yang diterangkan dapat berubah-ubah enurut suatu daerah.
2.4.2.3       Perbedaan pemahaman[12]
2.5         Hikmah Adanya Al-Ikhtilaf
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu :
2.5.1             Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
2.5.2             Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
2.5.3             Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
2.5.4             Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
2.5.5             Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Ansharirahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
2.5.6             Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafirahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : “Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : “ Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
2.5.7             Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata, “Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
2.5.8             Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata : “Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)
2.5.9             Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69[13]




BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di tarik dari pembahasan ini antara lain sebagai berikut :
3.1.1   Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat dianatara para ahli hukum (fuqaha) dalam menetukan hukum dari p[ermasalahan yang ada dengan menggunakan metode yang berbeda.
3.1.2   Adapun beberapa tempat-tempat yang memungkinkan terjadinyan ikhtilaf diantaranya ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum jelas petunjuknya atau zanni ad-dalalah, hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni wurud dan  zanni ad-dalalah, peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
3.1.3   Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya ikhtilaf yaitu perbedaan para ulama mengenai pemahamanya tentang lafadz nash, perbedaan dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i yang masih umum yaitu masih bersifat dzonni, Perbedaan pendapat dibeberapa kaidah ushul fiqh, dan juga Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi serta kondisi.
3.2         Saran
19
Dengan makalah yang kami buat ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan, guna perbaikan makalah kami berikutnya. Dan semoga makalah ini berguna untuk kita semua. Amin


DAFTAR PUSTAKA
Andi Muhamad Hidayat, “Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli Hukum”.http://amanahgontory.sch.id/2016/11/15/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ikhtilaf-ahli-hukum/ (10 Maret 2017)
Djazuli. 2004. ILMU FIQH (Penggertian, perkembangan, dan penerapan hukum islam). Bandung: Kencana Prenada Media Group.
Hasan, M. Ali. 1998.  Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT.RajaGrafiindo Persada.
Thaha Jabir Fayyadh al-alwani, terj. Ija Suntana. 2001. Etika Berbeda Pendapat dalam Islam.  Bandung: PUSTAKA HIDAYAH.
Usman el-Qurtuby. 2016. Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung: Cordoba
20
 


[1]Thaha Jabir Fayyadh al-alwani, terj. Ija Suntana, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 2001), h.25
[4]Djazuli, ILMU FIQH (Penggertian, perkembangan, dan penerapan hukum islam) (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2004), h.118
[5]http://rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-madzhab-dan-sebab-sebSabnya.html
[7] Usman el-Qurtuby, Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah) ( Bandung: Cordoba, 2016),  h.85
[8] Usman el-Qurtuby, Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah) ( Bandung: Cordoba, 2016), h.38
[9] Usman el-Qurtuby, Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah) ( Bandung: Cordoba, 2016),  h.438
[10] Usman el-Qurtuby, Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah) ( Bandung: Cordoba, 2016), h.235
[12] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta : PT.RajaGrafiindo Persada, 1998), h.117-122

[13]Andi Muhamad Hidayat, “Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli Hukum”.http://amanahgontory.sch.id/2016/11/15/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ikhtilaf-ahli-hukum/ (10 Maret 2017)