Minggu, 12 Juni 2016

MAKALAH; Kriteria Pemimpin, Hak dan Kewajiban Rakyat dan Pemimpin dalam Fiqih Siyasah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Secara kodrati manusia memiliki jiwa kepemimpinan dalam dirinya dan sangat memungkinkan untuk menjadi pemimpin yang baik bagi orang-orang yang dipimpin. Dalam konteks keislaman arti pemimpin dalam konsep lughoh sering disebut dengan sebutan Imam: imam adalah orang yang memberi petunjuk.
Khalifah : para fuqoha mendefinisikan suatu kepemimpinan umum yang mencakup urusan keduniaan dan urusan keahiratan. Penegertian khalifah di dalamnya mengandung arti adanya proses regenerasi. Dan masih banyak lagi istilah-istilah yang sama kaitannya dengan pemimpin. Namun pada esensinya seorang pemimpin itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran serta fungsi nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dibahas mengenai: “Kriteria Pemimpin, Hak dan Kewajiban Pemimpin dan Rakyat”.
1.2         Rumusan Masalah
1.2.1        Apa kriteria atau syarat-syarat pemimpin dalam Fiqh Siyasah?
1.2.2        Apa hak dan kewajiban Pemimpin?
1.2.3        Apa hak dan kewajiban Rakyat?
1.3         Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui kriteria atau syarat-syarat pemimpin dalam Fiqh Siyasah.
1.3.2        Untuk mengetahui hak dan kewajiban Pemimpin.
1.3.3        Untuk mengetahui hak dan kewajiban Rakyat.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Kriteria atau Syarat-syarat pemimpin dalam fiqh siyasah
2.1.1   Harus beragama islam
Syarat harus beragama islam ini sangat penting dipenuhi kepala Negara islam mengingat salah satu tugas utamanya adalah menerapkan syariat islam. Syarat ini antara lain ditemukan dalam firman allah Q.S. An-Nisa:59
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasul-nya dan ulil amri (pemerintah) di antara kamu….” (Q.S. An-Nisa :59)
2.1.2   Harus seorang laki-laki
Syarat ini dapat ditemukan dalam firman allah swt. Q.S. An-Nisa:34
Artinya: “ kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita….”(Q.S. An-Nisa:34)
Paling sedikit ada empat alas an mengapa wanita tidak bisa menjadi kepala Negara. Pertama, secara fitrah wanita dianggap tidak akan mampu memainkan peran politik. Kedua, wanita dianggap tidak akan sanggup berkompetisi dengan pria. Ketiga, wanita memiliki kekurangan akal dan agama. Keempat, ada asumsi teologis bahwa wanita diciptakan lebih rendah dari laki-laki.



2.1.3   Harus sudah Dewasa
Syarat ini dapat ditemukan dalam firman allah swt. Q.S.An-Nisa: 5

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan allah sebagai pokok kehidupan…” (Q.S.An-Nisa: 5)
2.1.4   Harus adil
Syarat ini antara lain dapat ditemukan dalam firman allah swt Q.S. Shad: 26

Artinya : “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) dibumi, maka berilah keputusan (perkara) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan allah swt.” (Q.S. Shad: 26)
2.1.5   Harus Pandai menjaga amanah dan professional.
Syarat ini dapat ditemukan dalam Q.S.Yusuf: 55
Artinya : “Berkata Yusuf, Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga amanah lagi berpengetahuan” (Q.S.Yusuf : 55)
2.1.6   Harus kuat atau sehat fisik dan mental, dapat dipercaya, dan berilmu atau memiliki wawasan yang luas.
Syarat ini dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah : 247
Artinya : “….sesungguhnya allah swt. Telah memilihnya (Thalut) menjadi rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa….” (Q.S. Al-Baqarah : 247)
2.1.7   Harus seorang warga Negara islam yang berdomisili dalam wilayah Negara islam.
Syarat ini dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Anfal: 72

Artinya : “ …Dan (terhadap) orang-orang yang beriman , tetapi belum berhijrah (ke negara islam), maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu untuk memberikan hak kekeuasaan kepada mereka sebelum mereka berhijrah…” Q.S. Al-Anfal: 72).
Berdasarkan atas ayat tersebut, kepala Negara islam tidak cukup hanya beragama islam, tetapi lebih dari itu ia haruslah seorang warga Negara islam.

2.1.8   Harus cinta kebenaran (shiddiq)
Kepala  Negara yang cinta kebenaran adalah kepala Negara yang benar dalam segala urusannya dan selalu memerintahkan para pembantunya, keluarga, dan rakyatnya untuk selalu benar dalam perkataan, perbuatan, niat dan cara berpikirnya.
2.1.9   Harus mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada rakyat visi, misi, dan programnya serta segala macam peraturan yang ada secara jujur dan transparan.
2.1.10    Harus cerdas dan memiliki ingatan yang baik, sehingga ia bukan hanya ingat, tetapi juga terikat dengan berbagai ajaran dan aturan yang pernah disosialisasikannya kepada public.
2.1.11    Harus keturunan Quraisy, suku asal Nabi Muhammad SAW.
Syarat ini terdapat dalam hadis
Para imam (kepala Negara) itu (harus) dari keturunan (suku) Quraisy…” (HR.Ahmad)
            Disamping sebelas syarat kepala Negara yang disimpulkan dari ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis nabi tersebut, kiranya perlu juga dikemukakan syarat-syarat kepala Negara yang dirumuskan oleh para ahli tata Negara islam, baik yang hidup dizaman klasik, zaman pertengahan maupun zaman kontemporer atau modern.
1      Para Ahli Tata Negara Islam Zaman Klasik
1.1    Ibn Abi Rabi’ (218-227 H/ 833-841 M)
1.1.1   Harus anggota dari keluarga raja dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
1.1.2   Memiliki aspirasi yang luhur.
1.1.3   Mempunyai pandangan yang mantap dan kokoh.
1.1.4   Memiliki ketahanan dalam menghadapi kesukaran atau tantangan.
1.1.5   Mempunyai kekayaan yang banyak .
1.1.6   Memiliki pembantu-pembantu yang setia.

1.2    Al-Farabi (257-339 H/ 870-950 M)
1.2.1   Lengkap anggota badannya.
1.2.2   Baik daya pemahamnnya.
1.2.3   Tinggi tingkat intelektualitasnya.
1.2.4   Pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya.
1.2.5   Pencinta pendidikan dan gemar mengajar.
1.2.6   Tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita.
1.2.7   Pecinta kejujuran dan pembenci kebohongan.
1.2.8   Berjiwa besar dan berbudi luhur.
1.2.9   Tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan duniawi yang lain.
1.2.10         Pecinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim.
1.2.11         Tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor.
1.2.12         Kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.
1.3    Al-Baqilani (w.403 H/ 1013 M)
1.3.1   Keturunan Quraisy asli.
1.3.2   Memiliki ilmu pengetahuan yang luas sehingga ia dapat mengetahui bertentangan atau tidaknya keputusan yang dibuat para hakim dengan aturan hukum yang berlaku dan dengan asas keadilan.
1.3.3   Adil dalam segala hal yang ditanganinya.
1.3.4   Berani menghadapi musuh di medan perang.
1.3.5   Ahli dalam mengorganisir tentara yang bertugas menjaga stabilitas keamanan Negara.
1.3.6   Mampu mengelola kepentingan publik sesuai dengan tuntutan syariat.


1.4    Al- Baghdadi (w.429 H/ 1037 M)
1.4.1   Memiliki ilmu pengetahuan, yang dengan ilmu tersebut minimal ia dapat mengetahui apakah produk undang-undang yang dilahirkan para mujtahid di zamannya sesuai atau tidak dengan syariat dan peraturan lainnya.
1.4.2   Memiliki kejujuran dan kesalehan.
1.4.3   Adil dan punya kemampuan dalam bidang administrasi,
1.4.4   Keturunan Quraisy.
1.5    Al –Mawardi (364-450 H/ 975-1059 M)
1.5.1   Sikap adil dengan segala persyaratannya.
1.5.2   Ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad.
1.5.3   Sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya.
1.5.4   Utuh anggota-anggota tubuhnya.
1.5.5   Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum.
1.5.6   Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh.
1.5.7   Keturunan Quraisy.
1.6    Abu Al-Ma’ali (419-478 H/ 1028-1087 M)
1.6.1   Beragama islam
1.6.2   Laki-laki,
1.6.3   Merdeka atau bukan budak.
1.6.4   Keturunan Quraisy.
1.6.5   Mujtahid atau mampu berijtihad sehingga ia dapat mengistinbathkan sendiri, hukum semua persoalan yang di hadapinya tanpa perlu meminta fatwa dari orang lain.
1.6.6   Wara’ atau punya integritas moral yang tinggi.
1.6.7   Memiliki kekuasaan yang nyata ( al-nadjat), seperti tersedianya dukungan militer dan aparat kepolisian untuk menjaga stabilitas keamanan Negara
1.6.8   Memiliki kemampuan mengelola Negara.
1.7    Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111 M)
1.7.1    Dewasa atau aqil Baligh.
1.7.2    Memiliki otak yang sehat.
1.7.3    Merdeka dan bukan budak.
1.7.4    Laki-laki.
1.7.5    Keturunan Quraisy.
1.7.6    Memiliki pendengaran dan penglihatan yang sehat.
1.7.7    Memiliki kekuasaan yang nyata artinya tersedianya bagi raja perangkat yang memadai, termasuk angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh, yang dapat digunakan untuk memaksakan keputusan terhadap mereka yang hendak menentangnya.
1.7.8    Memiliki hidayah artinya daya pikir dan daya ancang yang kuat dan ditunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain.
1.7.9    Memiliki ilmu pengetahuan.
1.7.10    Wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri serta tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela).
2      Para Ahli Tata Negara Islam Zaman Pertengahan
2.1    Ibn Taimiyah (661-728 H/ 1262-1328 M)
2.1.1        Memiliki kejujuran atau dapat dipercaya.
2.1.2        Memiliki kekuatan atau kecakapan (quwwah).
2.2    Ibn Khaldun (732-808 H/ 1332-1406 M)
2.2.1        Berpengetahuan luas.
2.2.2        Adil
2.2.3        Mampu mengemban tugas sebagai kepala negara.
2.2.4        Sehat badan serta utuh semua panca inderanya.
2.2.5        Keturunan Quraisy.

3      Para Ahli Tata Negara Islam Zaman Kontemporer atau Modern
3.1    Hasan Ismail Hudaibi ( Ketua al-ikhwan al-muslimin dari tahun 1948-1954 M).
3.1.1   Beragama islam.
3.1.2   Sudah dewasa.
3.1.3   Laki-laki.
3.1.4   Sehat jasmani.
3.1.5   Sudah mencapai tingkat Mujtahid.
3.2    Al-Maududi (1903-1979 M)
3.2.1   Beragama islam.
3.2.2   Dewasa.
3.2.3   Harus seorang laki-laki.
3.2.4   Sehat fisik dan mental.
3.2.5   Warga Negara islam yang terbaik, saleh serta kuat komitmennya kepada islam.
3.4    Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
3.4.1   Harus beragama islam.
3.4.2   Harus sudah dewasa atau  aqil baligh.
3.4.3   Sehat atau tidak cacat mental.
3.4.4   Merdeka atau bukan budak.
3.4.5   Laki-laki.
3.4.6   Adil atau memiliki integritas moral yang tinggi.
3.4.7   Memiliki kemampuan untuk memimpin Negara, melindungi dan mensejahterakan rakyat.
3.4.8   Berpengetahuan luas, utamanya dalam bidang politik.
3.4.9   Tidak meminta (mencalonkan diri dan berkampanye) untuk menjadi kepala Negara.
3.4.10    Warga Negara islam dan berdomisili di Negara islam.
3.4.11    Sehat panca indera dan anggota fisiknya.
3.4.12    Keturunan Quraisy.
3.4.13    Telah mencapai usia atau telah memperoleh gelar akademik tertentu.
3.5    Muhammad Dhiya al-Din al-Rais
3.5.1   Syarat-syarat yang telah disepakati (al-syuruth al-mutaffaq ‘alaiha)
3.5.1.1  Berilmu atau mampu berijtihad.
3.5.1.2  Memiliki wawasan dalam bidang politik, perang dan administrasi..
3.5.1.3  Sehat mental dan fisik.
3.5.1.4  Adil dan berakhlak mulia.
3.5.1.5  Memiliki kualifikasi kepemimpinan penuh yang meliputi: beragama islam, merdeka, seorang laki-laki, baligh dan berakal.
3.5.2    Syarat yang belum di sepakati atau masih di perselisihkan keabsahannya yaitu syarat keturunan Quraisy.
3.6    Abdul Wahab Khallaf
3.6.1   Syarat-syarat yang telah disepakati (al-syuruth al-mutaffaq ‘alaiha)
3.6.1.1  Adil (al-adalah).
3.6.1.2  Berilmu yang memungkinkannya melakukan ijtihad.
3.6.1.3  Sehat panca inderanya dan lengkap anggota fisiknya.
3.6.1.4  Punya visi (al-rayu’) kepemimpinan yang jelas.
3.6.1.5  Punya keberanian untuk melawan musuh-musuhnya..
3.6.2   Syarat yang belum di sepakati atau masih di perselisihkan keabsahannya yaitu syarat keturunan Quraisy.
3.7    Taqi al-Din al-Nabhani.
3.7.1   Syarat  in’iqad (syuruth al-in’iqad), yaitu syarat yang menentukan sah tidaknya pengangkatan seorang khalifah atau kepala Negara. Bila syarat ini terpenuhi, maka pengangkatan khalifah di pandang sah.
3.7.1.1  Harus seorang muslim .
3.7.1.2  Seorang laki-laki.
3.7.1.3  Baligh.
3.7.1.4  Berakal.
3.7.1.5  Adil.
3.7.1.6  Merdeka.
3.7.1.7  Mampu mengemban amanat khilafah.
3.7.2   Syarat afdaliyyah ( syuruth afdhaliyyah), yaitu syarat keutamaan yang apabila terpenuhi akan menambah bobot calon khalifah atau kepala Negara. Akan tetapi, bila tidak terpenuhi tidak akan berpengaruh pada sah atau tidaknya pengangkatan seseorang sebagai khalifah.
3.7.2.1  Seorang mujtahid.
3.7.2.2  Seorang pemberani dan politikus ulung yang hebat dalam mengatur urusan rakyat.
3.7.2.3  Keturunan Quraisy
3.7.2.4  Keturunan Bani Hasyim atau keturunan Ali Ibnu Abi Thalib[1]
2.2         Hak dan Kewajiban Pemimpin
2.2.1   Hak pemimpin  
          Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk di taati dan hak untuk di bantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul Mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukanya sebagai imam.[2]
          Selain itu Dhafir Al-Qasimy menyebutkan lagi hak imam dalam melaksanakan tugas imam dalam melaksanakan tugas Negara:
2.2.1.1  Hak mendapat penghasilan (Al-Qasimy).  Hak ini terang adanya,  sebab imam telah melakukan pekerjaan demi kemaslahatan umum, sehingga tak ada waktu lagi baginya memikirkan kepentingan pribadinya. Hal ini jelas sekali jika di lihat dari ukuran sekarang, meskipun lain halnya dibandingkan di masa-masa awal dahulunya, Khalifah Abu Bakar ra, atas desakan beberapa Sahabat juga mendapatkan penghasilan dari jabatan khalifahnya.
2.2.1.2  Hak mengeluarkan peraturan (Haq Al-Tasyri’).
 Seorang imam juga berhak mengeluarkan peraturan yang mengikat warganya, sepanjang peraturan itu tidak terdapat dalam Al-Qu’an dan mengikuti Al-Sunnah. Dalam mengeluarkan praturan-peraturan imam mestilah mengetahui kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nash. Yang terpenting di antaranya ialah musyawarah (AL-Syura) yakni bahwa dalam mengeluarkan suatu peraturan, ini tidak boleh bertindak sewenang-wenang, ia harus mempertimbangkan fikiran dari para ahli dalam masalah yang bersangkutan. Selain itu peraturan tersebut juga tidat boleh bertentangan dengan nash syara’ atau dengan ruh-tasyri’ dalam al-qur’an dan sunnah.[3]
Selain itu terdapat hak pemerintah Negara dalam buku Sayyid Abul A’la Maududi yaitu :
2.2.1.1  Kepala Negara jangan berfungsi secara otokratik, tetapi secara musyawarah, yaitu dia harus melaksanakan tugasnya dengan selalu bermusyawarah dengan orang-orang yang memegang tanggung jawab dalam pemerntahan da dengan wakil-wakil yang dipilih rakyat.
2.2.1.2  Kepala Negara tidak memiliki hak untuk mencabut UUD seluruhnya ataupun sebagian diantaranya, atau menyelenggarakan pemerintahan tanpa majelis permusyawaratan.
2.2.1.3  Badan yang diberi wewenang untuk memilih Kepala Negara juga akan memiliki kewenangan untuk memberhentikannyamelalui suara mayoritas.
2.2.1.4  Mengenai hak-hak kewarganegaraan kepala Negara sama kedudukannya dengan kaum muslim lainnya dan tidak diperkenankan berada diatas hukum.
2.2.1.5  Semua warga Negara, apakah anggota pemerintahan, pejabat maupun pribadi, akan berada dibawah hukum yang sama serta yurisdiksi pengadilan yang sama.
2.2.1.6  Penyebarluasan dan publikasi pandangan serta idielogi yang dianggap mengancam prinsip dan cita-cita dasar Negara islam akan dilarang.
Berbagai wilayah Negara harus dianggap sebagai unit-unit pemerintahan dari suatu Negara. Wilayah-wiayah ini tidak akan dijadikan sebagai wilayah yang sifatnya rasial, linguistic ataupun kesukuan, tetapi hanya berbagai wilayah –wilayah pemerintahan yang boleh diberi kekuasaan-kekuasaan dibawah supremasi pusat sebagaimana yang dianggap perlu untuk kemudahan administrasi.[4]
2.2.2        Kewajiban Pemimpin
kewajiban imam menurut al-Mawardi adalah:
2.2.2.1  Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan apa yang telah di sepakati oleh umat salaf.
2.2.2.2  Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
2.2.2.3  Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat berpergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
2.2.2.4  Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
2.2.2.5  Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).
2.2.2.6  Memerangi orang yang menentang islam setelah melakukan dakwah dengan baik tapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula menjadi kafir dzimi.
2.2.2.7  Memungut Fay dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
2.2.2.8  Manetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta membayarkanya pada waktunya.
2.2.2.9  Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta Negara di urus oleh orang yang jujur.
2.2.2.10       Melaksanakan tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.
                 Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu: Menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu keduniwian.[5]
              Selain itu terdapat kewajiban pemimpin secara umum, antara lain:
2.2.2.1       Taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Taat  kepada Allah dan RasulNya bukan hanya kewajiban rakyat, tetapi kewajiban pemimpin pula karena keumuman ayat diatas.
2.2.2.2       Mengajak umat agar beribadah kepadaAllah dan memberantas kesyirikan.
Inilah satu-satu(nya) tugas yang paling pokok, yang dipikul oleh pemimpin agar mengajak umat beribadah kepada Allah Ta’ala dan memberantas semua bentuk kesyirikan dan sarananya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur Rasyidin sesudahnya.




2.2.2.3       Berbuat adil

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ

 

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,  dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).

Sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Imam yang menghukumi manusia dengan adil dan menunaikan amanat, wajib ditaati”. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi 5/258 dan Tafsir Al-Baghawi 2/204).

2.2.2.4  Melaksanakan hukum Allah.

Pemimpin utama adalah Allah, sedangkan pemimpin manusia adalah khalifah di permukaan bumi, dia bertugas melaksanakan hukum Allah dan menyeru manusia untuk berhukum dengan hukum Nya. FirmanNya:

 

أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَماً وَهُوَ الَّذِي أَنَزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan terperinci. (QS. Al-An’am: 114).
2.2.2.5  Menasehati masyarakatnya. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Pemimpin berkewajiban menasehati rakyatnya, agar kembali ke jalan yang benar untuk memperoleh maslahat dunia dan akhiratnya. Rakyat akan mudah taat kepada pemimpinnya, dan hendaknya pemimpin menunaikan amanat, karena orang yang taat kepada Allah akan disegani oleh umat”. (Lihat Huquq Da’ at Ilaiha Fithroh wa Qorroha As-Syariah hal. 33-34).[6]

2.3         Hak dan Kewajiban Rakyat
2.3.1    Hak Rakyat
            Hak-hak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas Hak-hak Politik dan Hak-hak Umum.
1      Hak-Hak Politik Warganegara.
1.1    Hak memilih.
Menurut Ibnu Taimiyah, hal ini didasarkan pada praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa ar-Rasyidin. Menurut pendapatnya, keempat khalifah itu meraih kekuasaan berdasarkan pemilihan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat berhak memilih kepala Negara melalui ahlul hall wal ‘aqd.
1.2    Hak Bermusyawarah (Haqq al-Musyawarat)
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang pemimpin seharusnya tidak hanya meminta pertimbangan dari kalangan ulama, tetapi juga dari semua kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu memberikan suatu pendapat yang baik.
1.3    Hak Menurunkan Pemimpin(apabila keadaan mengharuskan) (Haqq al-‘Azl)
Menurut al-Baqillani, umat tidak mempunyai hak untuk membatalkan kecuali ada kasus yang mengharuskan untuk itu. Al-Bagdadi menjelaskan bahwa seorang imam yang tidak cacat dan bertindak tidak bertentangan dengan syariat harus didukung dan ditaati oleh umat. Tapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syariat, masyarakat harus memilih di antara dua tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya dari perbuatan salah kepada kebaikan, atau mencopot jabatannya.
1.4    Hak untuk Mencalonkan (Haqq al-Tarsyih)
Seorang warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya
1.5    Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan Umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-‘Ammat)
Di dalam Taisir al-Wushul Juz I hal. 18, memangku jabatan politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (karena ambisi).
2      Hak-Hak Umum Warganegara
2.1    Hak Persamaan (Al-Musawat)
Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy :“Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan wajahmu, dan dalam pengadilan-pengadilanmu, sehingga orang yang berkedudukan tidak menjadi berharap atas keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu”.
2.2    Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)
Menurut Harun Nasution, dari ajaran dasar persamaan, persaudaraan, dankebebasan manusia, timbullah kebebasan-kebebasan manusia.
Dalam ajaran islam, menurut Mustafa as-Siba’I (ahli fikih kontemporer dari Suriah), individu tidak berada di atas masyarakat, tetapi masyarakat juga tidak berada di atas individu. Keduanya berjalan seiring. Dengan demikian kebebasan dalam islam mempunyai batas-batasnya.
2.3    Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Apabila mendapatkan pengajaran merupakan hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-instrumen bagi pencerdasan rakyatnya.
2.4    Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalat) dari Negara.
Tidaklah mungkin seorang warga negara dalam Negara Islam hidup terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara mengetahuinya. Negara Islam wajib mengelola zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim yang telah wajib membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya dengan harta Baitul Mal.[7]
Selain itu secara umum hak rakyat antara lain:
1          warga Negara harus diberi semua hak yang ditetapkan oleh hukum islam kepada mereka; yaitu bahwa mereka akan dijamin , dengan batas-batas hukum tersebut, keamanan hidupnya secara penuh, kekayaan dan kehormatannya, kemerdekaan beragamanya, kemerdekaan beribadahnya, kemerdekaan orangnya, kemerdekaan mengeluarkan pendapatnya, kemerdekaan berserikat dan berkumpulnya, keleluasaan bergeraknya, kemeerdekaan bekerjanya, kesamaan kesempatan dan haknya untuk memanfaatkan semua pelayanan umum.
2          Kapanpun juga, tidak akan ada seorang warga Negara yang lebih dirampas semua haknya ini; kecuali dibawah hukum. Tidak  ada seorang warga Negara yang akan divonis karena suatu dakwaan tanpa sepenuhnya diberi hak untuk membela diri dan tanpa keputusan pengadilan yang sah.
3          Semua mazhab pemikiran muslim yang diakui, didalam batas-batas hukum, akan memiliki kemerdekaan agama sepenuhnya. Semuanya behak untuk menyebarluaskan segala perintah keagamaan kepada penganutnya dan berhak mempropagandakan pandangan-pandangan mereka.  Masalah-masalah yang berada di bawah lingkup hukum pribadi akan diselenggarakan sesuai dengan masing-masing fiqh mereka.
4          Para warga Negara non muslim , dalam batas-batas hukum, akan memiliki kemerdekaan beragama dan beribadat sepenuh-penuhnya, kemerdekaan menganut cara hidup, kebudayaan dan pendidikan agama. Mereka akan diberi hak untuk menyelenggarakan hukum pribadi mereka sejalan dengan aturan agama, adat-istiadat dan tradisinya masing-masing.
5          Semua kewajiban yang diembang Negara, dalam batas-batas hukum, atas warga Negara non muslim akan sepenuhnya dihormati. Mereka akan diberi hak sama dengan warga Negara muslim untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraan.[8]
2.3.2   Kewajiban Rakyat
     Kewajiban rakyat ini wajib dilaksanakan sekalipun imam kurang memenuhi kewajiban dan persyaratannya, karena kewajiban rakyat lain dengan kewajiban imam, rakyat tidak memikul dosanya imam, tetapi rakyat berdosa bila mereka tidak menjalankan kewajibannya. Adapun kewajiban umat yang harus diperhatikan antara lain:
2.3.2.1       Mentaati imam bila tidak memerintah maksiat
Ibnu Katsir berkata: “Ayat diatas menjelaskan kewajiban rakyat mentaati pemimpin apabila perintahnya benar, tetapi bila perintahnya menyelisih yang haq tidak boleh mentaatinya”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/203).
2.3.2.2       Mentati imam pada saat suka dan duka
Dari Abdullah radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Wajib mendengarkan dan taat kepada pemimpin muslim dalam hal yang disenangi dan yang dibenci, selagi tidak diperintah untuk maksiat, tetapi bila diperintah maksiat, tidak boleh mendengar dan mentaatinya. (HR. Bukhari 6611).
2.3.2.3       Mentaati imam sekalipun dia lebih mementingkan dirinya daripada kepentingan umat.
Dari Ubadah bin As-Shamit radhiyallahu ‘anhu. dia berkata:
Kami mendengar dan mentaati peminpin kami pada waktu kami bersemangat dan benci, dalam keadaan sulit atau mudah, (walaupun dia) mendahulukan kepentingan dirinya daripada kepentingan kami, dan kami tidak akan mencabut urusan yang itu haknya.. Dia berkata: Kecuali bila engkau melihat benar-benar pemimpin itu kafir, bagimu punya bukti disisi Allah. (HR. Muslim 3427).
2.3.2.4  Wajib menasehati pemimpin bila salah, dengan tidak menyebarkan aibnya dihadapan umat.
Adapun dilarang menyebarkan aib pemimpin di hadapan umat, kita dapat melihat kembali sejarah Raja Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai tuhan, raja kekufuran dan kesyirikan, tetapi Allah menyuruh Nabi Musa dan saudaranya Harun agar mendatangi Fir’aun dan menasihatinya dengan lembut dan sopan. Sabda Rasullullah saw :
Barangsiapa menasihati pemimpin, janganlah di depan umum, tetapi datangi dia dengan menyepi, jika diterima (nasihat) maka itulah yang diharapkan. Jika tidak menerima, dia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. (Li\hat Musnad As-Syamiyyin 2/94). [9]













BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Dalam konteks keislaman arti pemimpin dalam konsep lughoh sering disebut dengan sebutan imam, khalifah dsb. Namun pada esensinya seorang pemimpin itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran serta fungsi nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Untuk memilih seorang pemimpin  ada dua cara yag cukup signifikan Yang pertama, adalah pemilihan oleh parlemen ( ahlu al-aqdi wa al-hal ) dan yang kedua adalah dengan cara ditunjuk oleh pemimpin atau khalifah sebelumnya. Hak pemimpin menurut Al-Mawardi ada dua yaitu hak untuk ditaati oleh rakyatnya dan hak untuk dibantu jika pemimpin tersebut mengalami suatu permasalahan yang susah untuk dipecahkan.
Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
3.2         Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.






DAFTAR PUSTAKA
A’la Maududi, Sayyid Abul.1995. Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan.
Djazuli. 2003.  Figh Siyasah.  Bogor: Prenada Media.
Muhammad, Rusjdi Ali. 2000. Politik Islam. Yogyakarta : PT. Arun, Pim dan Yasat.
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada. , 2008.  fiqh Siyasa (Doktrin dan Pemikiran Politik Islam). Jakarta: Erlangga.




[1] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, fiqh Siyasa (Doktrin dan Pemikiran Politik Islam), (Jakarta : Erlangga, 2008),hal.248-287
[2] Rusjdi Ali Muhammad, Politik Islam, (Yogyakarta : PT. Arun, Pim dan Yasat, 2000), hal.27
[3] H. A. Djazuli,  Figh Siyasah, (Bogor: Prenada Media, 2003),hal: 95.
[4] Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995), hal.353-355.
[8] Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995), hal.353-355.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar