BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara kodrati manusia memiliki jiwa kepemimpinan dalam dirinya dan
sangat memungkinkan untuk menjadi pemimpin yang baik bagi orang-orang yang
dipimpin. Dalam
konteks keislaman arti pemimpin dalam konsep lughoh sering disebut dengan
sebutan Imam: imam adalah orang yang
memberi petunjuk.
Khalifah : para fuqoha mendefinisikan suatu kepemimpinan
umum yang mencakup urusan keduniaan dan urusan keahiratan. Penegertian khalifah
di dalamnya mengandung arti adanya proses regenerasi. Dan masih banyak lagi
istilah-istilah yang sama kaitannya dengan pemimpin. Namun pada esensinya seorang pemimpin itu diproyeksikan untuk mengambil
alih peran serta fungsi nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
“Kriteria Pemimpin, Hak dan Kewajiban Pemimpin dan Rakyat”.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa
kriteria atau syarat-syarat pemimpin dalam Fiqh Siyasah?
1.2.2
Apa
hak dan kewajiban Pemimpin?
1.2.3
Apa
hak dan kewajiban Rakyat?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk
mengetahui kriteria atau syarat-syarat pemimpin dalam Fiqh Siyasah.
1.3.2
Untuk
mengetahui hak dan kewajiban Pemimpin.
1.3.3
Untuk
mengetahui hak dan kewajiban Rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kriteria atau Syarat-syarat pemimpin dalam fiqh siyasah
2.1.1
Harus
beragama islam
Syarat harus beragama islam ini sangat penting dipenuhi kepala
Negara islam mengingat salah satu tugas utamanya adalah menerapkan syariat
islam. Syarat ini antara lain ditemukan dalam firman allah Q.S. An-Nisa:59
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasul-nya dan ulil
amri (pemerintah) di antara kamu….”
(Q.S. An-Nisa :59)
2.1.2
Harus
seorang laki-laki
Syarat
ini dapat ditemukan dalam firman allah swt. Q.S. An-Nisa:34
Artinya:
“ kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita….”(Q.S. An-Nisa:34)
Paling sedikit ada empat alas an mengapa wanita tidak bisa menjadi
kepala Negara. Pertama, secara fitrah wanita dianggap tidak akan mampu
memainkan peran politik. Kedua, wanita dianggap tidak akan sanggup berkompetisi
dengan pria. Ketiga, wanita memiliki kekurangan akal dan agama. Keempat, ada
asumsi teologis bahwa wanita diciptakan lebih rendah dari laki-laki.
2.1.3
Harus
sudah Dewasa
Syarat ini dapat ditemukan dalam firman allah swt. Q.S.An-Nisa: 5
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan allah sebagai pokok
kehidupan…” (Q.S.An-Nisa:
5)
2.1.4
Harus
adil
Syarat
ini antara lain dapat ditemukan dalam firman allah swt Q.S. Shad: 26
Artinya
: “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) dibumi, maka
berilah keputusan (perkara) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan allah swt.” (Q.S.
Shad: 26)
2.1.5
Harus
Pandai menjaga amanah dan professional.
Syarat
ini dapat ditemukan dalam Q.S.Yusuf: 55
Artinya
: “Berkata Yusuf, Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir) sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga amanah lagi berpengetahuan” (Q.S.Yusuf : 55)
2.1.6
Harus
kuat atau sehat fisik dan mental, dapat dipercaya, dan berilmu atau memiliki
wawasan yang luas.
Syarat ini dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah : 247
Artinya : “….sesungguhnya allah swt. Telah memilihnya (Thalut) menjadi
rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa….” (Q.S. Al-Baqarah : 247)
2.1.7
Harus
seorang warga Negara islam yang berdomisili dalam wilayah Negara islam.
Syarat
ini dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Anfal: 72
Artinya : “ …Dan (terhadap) orang-orang yang beriman , tetapi belum berhijrah (ke negara islam), maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu untuk memberikan hak kekeuasaan kepada mereka sebelum mereka berhijrah…” Q.S. Al-Anfal: 72).
Berdasarkan atas ayat tersebut, kepala Negara islam tidak cukup
hanya beragama islam, tetapi lebih dari itu ia haruslah seorang warga Negara
islam.
2.1.8
Harus
cinta kebenaran (shiddiq)
Kepala Negara yang cinta
kebenaran adalah kepala Negara yang benar dalam segala urusannya dan selalu
memerintahkan para pembantunya, keluarga, dan rakyatnya untuk selalu benar
dalam perkataan, perbuatan, niat dan cara berpikirnya.
2.1.9
Harus
mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada rakyat visi, misi, dan programnya
serta segala macam peraturan yang ada secara jujur dan transparan.
2.1.10
Harus
cerdas dan memiliki ingatan yang baik, sehingga ia bukan hanya ingat, tetapi
juga terikat dengan berbagai ajaran dan aturan yang pernah disosialisasikannya
kepada public.
2.1.11
Harus
keturunan Quraisy, suku asal Nabi Muhammad SAW.
Syarat ini terdapat dalam hadis
“ Para imam (kepala Negara) itu
(harus) dari keturunan (suku) Quraisy…” (HR.Ahmad)
Disamping sebelas
syarat kepala Negara yang disimpulkan dari ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis
nabi tersebut, kiranya perlu juga dikemukakan syarat-syarat kepala Negara yang
dirumuskan oleh para ahli tata Negara islam, baik yang hidup dizaman klasik,
zaman pertengahan maupun zaman kontemporer atau modern.
1
Para
Ahli Tata Negara Islam Zaman Klasik
1.1
Ibn
Abi Rabi’ (218-227 H/ 833-841 M)
1.1.1
Harus
anggota dari keluarga raja dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja
sebelumnya.
1.1.2
Memiliki
aspirasi yang luhur.
1.1.3
Mempunyai
pandangan yang mantap dan kokoh.
1.1.4
Memiliki
ketahanan dalam menghadapi kesukaran atau tantangan.
1.1.5
Mempunyai
kekayaan yang banyak .
1.1.6
Memiliki
pembantu-pembantu yang setia.
1.2
Al-Farabi
(257-339 H/ 870-950 M)
1.2.1
Lengkap
anggota badannya.
1.2.2
Baik
daya pemahamnnya.
1.2.3
Tinggi
tingkat intelektualitasnya.
1.2.4
Pandai
mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya.
1.2.5
Pencinta
pendidikan dan gemar mengajar.
1.2.6
Tidak
loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita.
1.2.7
Pecinta
kejujuran dan pembenci kebohongan.
1.2.8
Berjiwa
besar dan berbudi luhur.
1.2.9
Tidak
memandang penting kekayaan dan kesenangan duniawi yang lain.
1.2.10
Pecinta
keadilan dan pembenci perbuatan zalim.
1.2.11
Tanggap
dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit untuk melakukan
atau menyetujui tindakan keji dan kotor.
1.2.12
Kuat
pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian,
tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.
1.3
Al-Baqilani
(w.403 H/ 1013 M)
1.3.1
Keturunan
Quraisy asli.
1.3.2
Memiliki
ilmu pengetahuan yang luas sehingga ia dapat mengetahui bertentangan atau
tidaknya keputusan yang dibuat para hakim dengan aturan hukum yang berlaku dan
dengan asas keadilan.
1.3.3
Adil
dalam segala hal yang ditanganinya.
1.3.4
Berani
menghadapi musuh di medan perang.
1.3.5
Ahli
dalam mengorganisir tentara yang bertugas menjaga stabilitas keamanan Negara.
1.3.6
Mampu
mengelola kepentingan publik sesuai dengan tuntutan syariat.
1.4
Al-
Baghdadi (w.429 H/ 1037 M)
1.4.1
Memiliki
ilmu pengetahuan, yang dengan ilmu tersebut minimal ia dapat mengetahui apakah
produk undang-undang yang dilahirkan para mujtahid di zamannya sesuai atau
tidak dengan syariat dan peraturan lainnya.
1.4.2
Memiliki
kejujuran dan kesalehan.
1.4.3
Adil
dan punya kemampuan dalam bidang administrasi,
1.4.4
Keturunan
Quraisy.
1.5
Al
–Mawardi (364-450 H/ 975-1059 M)
1.5.1
Sikap
adil dengan segala persyaratannya.
1.5.2
Ilmu
pengetahuan yang memadai untuk ijtihad.
1.5.3
Sehat
pendengaran, penglihatan dan lisannya.
1.5.4
Utuh
anggota-anggota tubuhnya.
1.5.5
Wawasan
yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum.
1.5.6
Keberanian
yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh.
1.5.7
Keturunan
Quraisy.
1.6
Abu
Al-Ma’ali (419-478 H/ 1028-1087 M)
1.6.1
Beragama
islam
1.6.2
Laki-laki,
1.6.3
Merdeka
atau bukan budak.
1.6.4
Keturunan
Quraisy.
1.6.5
Mujtahid
atau mampu berijtihad sehingga ia dapat mengistinbathkan sendiri, hukum semua
persoalan yang di hadapinya tanpa perlu meminta fatwa dari orang lain.
1.6.6
Wara’ atau punya integritas moral yang tinggi.
1.6.7
Memiliki
kekuasaan yang nyata ( al-nadjat), seperti tersedianya dukungan militer
dan aparat kepolisian untuk menjaga stabilitas keamanan Negara
1.6.8
Memiliki
kemampuan mengelola Negara.
1.7
Al-Ghazali
(450-505 H/ 1058-1111 M)
1.7.1
Dewasa
atau aqil Baligh.
1.7.2
Memiliki
otak yang sehat.
1.7.3
Merdeka
dan bukan budak.
1.7.4
Laki-laki.
1.7.5
Keturunan
Quraisy.
1.7.6
Memiliki
pendengaran dan penglihatan yang sehat.
1.7.7
Memiliki
kekuasaan yang nyata artinya tersedianya bagi raja perangkat yang memadai,
termasuk angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh, yang dapat digunakan
untuk memaksakan keputusan terhadap mereka yang hendak menentangnya.
1.7.8
Memiliki
hidayah artinya daya pikir dan daya ancang yang kuat dan ditunjang oleh
kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain.
1.7.9
Memiliki
ilmu pengetahuan.
1.7.10
Wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri serta
tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela).
2
Para
Ahli Tata Negara Islam Zaman Pertengahan
2.1
Ibn
Taimiyah (661-728 H/ 1262-1328 M)
2.1.1
Memiliki
kejujuran atau dapat dipercaya.
2.1.2
Memiliki
kekuatan atau kecakapan (quwwah).
2.2
Ibn
Khaldun (732-808 H/ 1332-1406 M)
2.2.1
Berpengetahuan
luas.
2.2.2
Adil
2.2.3
Mampu
mengemban tugas sebagai kepala negara.
2.2.4
Sehat
badan serta utuh semua panca inderanya.
2.2.5
Keturunan
Quraisy.
3
Para
Ahli Tata Negara Islam Zaman Kontemporer atau Modern
3.1
Hasan
Ismail Hudaibi ( Ketua al-ikhwan al-muslimin dari tahun 1948-1954 M).
3.1.1
Beragama
islam.
3.1.2
Sudah
dewasa.
3.1.3
Laki-laki.
3.1.4
Sehat
jasmani.
3.1.5
Sudah
mencapai tingkat Mujtahid.
3.2
Al-Maududi
(1903-1979 M)
3.2.1
Beragama
islam.
3.2.2
Dewasa.
3.2.3
Harus
seorang laki-laki.
3.2.4
Sehat
fisik dan mental.
3.2.5
Warga
Negara islam yang terbaik, saleh serta kuat komitmennya kepada islam.
3.4
Muhammad
Abdul Qadir Abu Faris
3.4.1
Harus
beragama islam.
3.4.2
Harus
sudah dewasa atau aqil baligh.
3.4.3
Sehat
atau tidak cacat mental.
3.4.4
Merdeka
atau bukan budak.
3.4.5
Laki-laki.
3.4.6
Adil
atau memiliki integritas moral yang tinggi.
3.4.7
Memiliki
kemampuan untuk memimpin Negara, melindungi dan mensejahterakan rakyat.
3.4.8
Berpengetahuan
luas, utamanya dalam bidang politik.
3.4.9
Tidak
meminta (mencalonkan diri dan berkampanye) untuk menjadi kepala Negara.
3.4.10
Warga
Negara islam dan berdomisili di Negara islam.
3.4.11
Sehat
panca indera dan anggota fisiknya.
3.4.12
Keturunan
Quraisy.
3.4.13
Telah
mencapai usia atau telah memperoleh gelar akademik tertentu.
3.5
Muhammad
Dhiya al-Din al-Rais
3.5.1
Syarat-syarat
yang telah disepakati (al-syuruth al-mutaffaq ‘alaiha)
3.5.1.1
Berilmu
atau mampu berijtihad.
3.5.1.2
Memiliki
wawasan dalam bidang politik, perang dan administrasi..
3.5.1.3
Sehat
mental dan fisik.
3.5.1.4
Adil
dan berakhlak mulia.
3.5.1.5
Memiliki
kualifikasi kepemimpinan penuh yang meliputi: beragama islam, merdeka, seorang
laki-laki, baligh dan berakal.
3.5.2
Syarat yang belum di sepakati atau masih di
perselisihkan keabsahannya yaitu syarat keturunan Quraisy.
3.6
Abdul
Wahab Khallaf
3.6.1
Syarat-syarat
yang telah disepakati (al-syuruth al-mutaffaq ‘alaiha)
3.6.1.1
Adil
(al-adalah).
3.6.1.2
Berilmu
yang memungkinkannya melakukan ijtihad.
3.6.1.3
Sehat
panca inderanya dan lengkap anggota fisiknya.
3.6.1.4
Punya
visi (al-rayu’) kepemimpinan yang jelas.
3.6.1.5
Punya
keberanian untuk melawan musuh-musuhnya..
3.6.2
Syarat
yang belum di sepakati atau masih di perselisihkan keabsahannya yaitu syarat
keturunan Quraisy.
3.7
Taqi
al-Din al-Nabhani.
3.7.1
Syarat in’iqad (syuruth al-in’iqad),
yaitu syarat yang menentukan sah tidaknya pengangkatan seorang khalifah atau
kepala Negara. Bila syarat ini terpenuhi, maka pengangkatan khalifah di pandang
sah.
3.7.1.1
Harus
seorang muslim .
3.7.1.2
Seorang
laki-laki.
3.7.1.3
Baligh.
3.7.1.4
Berakal.
3.7.1.5
Adil.
3.7.1.6
Merdeka.
3.7.1.7
Mampu
mengemban amanat khilafah.
3.7.2
Syarat
afdaliyyah ( syuruth afdhaliyyah), yaitu syarat keutamaan yang apabila
terpenuhi akan menambah bobot calon khalifah atau kepala Negara. Akan tetapi,
bila tidak terpenuhi tidak akan berpengaruh pada sah atau tidaknya pengangkatan
seseorang sebagai khalifah.
3.7.2.1
Seorang
mujtahid.
3.7.2.2
Seorang
pemberani dan politikus ulung yang hebat dalam mengatur urusan rakyat.
3.7.2.3
Keturunan
Quraisy
3.7.2.4
Keturunan
Bani Hasyim atau keturunan Ali Ibnu Abi Thalib[1]
2.2
Hak dan Kewajiban Pemimpin
2.2.1
Hak
pemimpin
Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk di taati dan hak untuk di bantu.
Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah ternyata ada hak lain bagi imam,
yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul Mal untuk keperluan hidupnya
dan keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukanya sebagai imam.[2]
Selain
itu Dhafir Al-Qasimy menyebutkan lagi hak imam dalam melaksanakan tugas imam
dalam melaksanakan tugas Negara:
2.2.1.1
Hak mendapat penghasilan (Al-Qasimy). Hak ini terang adanya, sebab imam telah melakukan pekerjaan demi
kemaslahatan umum, sehingga tak ada waktu lagi baginya memikirkan kepentingan
pribadinya. Hal ini jelas sekali jika di lihat dari ukuran sekarang, meskipun
lain halnya dibandingkan di masa-masa awal dahulunya, Khalifah Abu Bakar ra,
atas desakan beberapa Sahabat juga mendapatkan penghasilan dari jabatan
khalifahnya.
2.2.1.2
Hak mengeluarkan peraturan (Haq Al-Tasyri’).
Seorang
imam juga berhak mengeluarkan peraturan yang mengikat warganya, sepanjang
peraturan itu tidak terdapat dalam Al-Qu’an dan mengikuti Al-Sunnah. Dalam
mengeluarkan praturan-peraturan imam mestilah mengetahui kaedah-kaedah dan
pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nash. Yang terpenting di antaranya ialah
musyawarah (AL-Syura) yakni bahwa dalam mengeluarkan suatu peraturan, ini tidak
boleh bertindak sewenang-wenang, ia harus mempertimbangkan fikiran dari para
ahli dalam masalah yang bersangkutan. Selain itu peraturan tersebut juga tidat
boleh bertentangan dengan nash syara’ atau dengan ruh-tasyri’ dalam al-qur’an
dan sunnah.[3]
Selain itu terdapat hak pemerintah Negara
dalam buku Sayyid Abul A’la Maududi yaitu :
2.2.1.1
Kepala
Negara jangan berfungsi secara otokratik, tetapi secara musyawarah, yaitu dia
harus melaksanakan tugasnya dengan selalu bermusyawarah dengan orang-orang yang
memegang tanggung jawab dalam pemerntahan da dengan wakil-wakil yang dipilih
rakyat.
2.2.1.2
Kepala
Negara tidak memiliki hak untuk mencabut UUD seluruhnya ataupun sebagian
diantaranya, atau menyelenggarakan pemerintahan tanpa majelis permusyawaratan.
2.2.1.3
Badan
yang diberi wewenang untuk memilih Kepala Negara juga akan memiliki kewenangan
untuk memberhentikannyamelalui suara mayoritas.
2.2.1.4
Mengenai
hak-hak kewarganegaraan kepala Negara sama kedudukannya dengan kaum muslim
lainnya dan tidak diperkenankan berada diatas hukum.
2.2.1.5
Semua
warga Negara, apakah anggota pemerintahan, pejabat maupun pribadi, akan berada
dibawah hukum yang sama serta yurisdiksi pengadilan yang sama.
2.2.1.6
Penyebarluasan
dan publikasi pandangan serta idielogi yang dianggap mengancam prinsip dan
cita-cita dasar Negara islam akan dilarang.
Berbagai
wilayah Negara harus dianggap sebagai unit-unit pemerintahan dari suatu Negara.
Wilayah-wiayah ini tidak akan dijadikan sebagai wilayah yang sifatnya rasial,
linguistic ataupun kesukuan, tetapi hanya berbagai wilayah –wilayah
pemerintahan yang boleh diberi kekuasaan-kekuasaan dibawah supremasi pusat
sebagaimana yang dianggap perlu untuk kemudahan administrasi.[4]
2.2.2
Kewajiban Pemimpin
kewajiban imam menurut al-Mawardi adalah:
2.2.2.1
Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di
tetapkan dan apa yang telah di sepakati oleh umat salaf.
2.2.2.2
Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang
yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana
secara umum.
2.2.2.3
Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia
dapat dengan tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat
berpergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
2.2.2.4
Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak
berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan
kerusakan.
2.2.2.5
Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup,
agar musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim
yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).
2.2.2.6
Memerangi orang yang menentang islam setelah
melakukan dakwah dengan baik tapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula
menjadi kafir dzimi.
2.2.2.7
Memungut Fay dan shadaqah-shadaqah sesuai
dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
2.2.2.8
Manetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk
orang-orang yang berhak menerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta
membayarkanya pada waktunya.
2.2.2.9
Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya
dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan
kekayaan Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh
orang-orang yang ahli, dan harta Negara di urus oleh orang yang jujur.
2.2.2.10
Melaksanakan tugas-tugasnya yang langsung di
dalam membina umat dan menjaga agama.
Yusuf
Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu: Menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan,
karena kemajuan umat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
keduniwian.[5]
Selain
itu terdapat kewajiban pemimpin secara umum, antara
lain:
2.2.2.1 Taat
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Taat
kepada Allah dan RasulNya bukan hanya kewajiban rakyat, tetapi kewajiban
pemimpin pula karena keumuman ayat diatas.
2.2.2.2 Mengajak
umat agar beribadah kepadaAllah dan memberantas kesyirikan.
Inilah
satu-satu(nya) tugas yang paling pokok, yang dipikul
oleh pemimpin agar mengajak umat beribadah kepada Allah Ta’ala dan memberantas
semua bentuk kesyirikan dan sarananya sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan khulafaur
Rasyidin sesudahnya.
2.2.2.3
Berbuat adil
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).
Sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Imam yang menghukumi manusia dengan adil dan menunaikan amanat, wajib ditaati”. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi 5/258 dan Tafsir Al-Baghawi 2/204).
2.2.2.4 Melaksanakan hukum Allah.
Pemimpin utama adalah Allah, sedangkan pemimpin manusia adalah khalifah di permukaan bumi, dia bertugas melaksanakan hukum Allah dan menyeru manusia untuk berhukum dengan hukum Nya. FirmanNya:
أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَماً وَهُوَ الَّذِي أَنَزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً
Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan terperinci. (QS.
Al-An’am: 114).
2.2.2.5 Menasehati masyarakatnya. Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata: “Pemimpin berkewajiban menasehati rakyatnya, agar
kembali ke jalan yang benar untuk memperoleh maslahat dunia dan akhiratnya. Rakyat
akan mudah taat kepada pemimpinnya, dan hendaknya pemimpin menunaikan amanat,
karena orang yang taat kepada Allah akan disegani oleh umat”. (Lihat Huquq
Da’ at Ilaiha Fithroh wa Qorroha As-Syariah hal. 33-34).[6]
2.3
Hak dan
Kewajiban Rakyat
2.3.1
Hak
Rakyat
1.1
Hak memilih.
Menurut
Ibnu Taimiyah, hal ini didasarkan pada praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW dan
Khulafa ar-Rasyidin. Menurut pendapatnya, keempat khalifah itu meraih kekuasaan
berdasarkan pemilihan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat berhak
memilih kepala Negara melalui ahlul hall wal ‘aqd.
1.2
Hak Bermusyawarah (Haqq
al-Musyawarat)
Menurut
Ibnu Taimiyah, seorang pemimpin seharusnya tidak hanya meminta pertimbangan
dari kalangan ulama, tetapi juga dari semua kelas dalam masyarakat dan siapa
saja yang mampu memberikan suatu pendapat yang baik.
1.3
Hak Menurunkan Pemimpin(apabila keadaan
mengharuskan) (Haqq al-‘Azl)
Menurut
al-Baqillani, umat tidak mempunyai hak untuk membatalkan kecuali ada kasus yang
mengharuskan untuk itu. Al-Bagdadi menjelaskan bahwa seorang imam yang tidak
cacat dan bertindak tidak bertentangan dengan syariat harus didukung dan
ditaati oleh umat. Tapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syariat,
masyarakat harus memilih di antara dua tindakan kepadanya, yaitu
mengembalikannya dari perbuatan salah kepada kebaikan, atau mencopot
jabatannya.
1.4
Hak untuk Mencalonkan (Haqq
al-Tarsyih)
Seorang
warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan
politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak
etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian.
Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang
fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan politik) maka
pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya
1.5
Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan
Umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-‘Ammat)
Di dalam
Taisir al-Wushul Juz I hal. 18, memangku jabatan politik bukanlah hak akan
tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan jabatan
kepada orang yang memintanya (karena ambisi).
2.1
Hak Persamaan (Al-Musawat)
Umar ibn
Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy :“Samakanlah setiap
manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan wajahmu, dan dalam
pengadilan-pengadilanmu, sehingga orang yang berkedudukan tidak menjadi
berharap atas keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa
terhadap keadilanmu”.
2.2
Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)
Menurut
Harun Nasution, dari ajaran dasar persamaan, persaudaraan, dankebebasan
manusia, timbullah kebebasan-kebebasan manusia.
Dalam ajaran islam, menurut Mustafa as-Siba’I (ahli fikih kontemporer dari Suriah), individu tidak berada di atas masyarakat, tetapi masyarakat juga tidak berada di atas individu. Keduanya berjalan seiring. Dengan demikian kebebasan dalam islam mempunyai batas-batasnya.
Dalam ajaran islam, menurut Mustafa as-Siba’I (ahli fikih kontemporer dari Suriah), individu tidak berada di atas masyarakat, tetapi masyarakat juga tidak berada di atas individu. Keduanya berjalan seiring. Dengan demikian kebebasan dalam islam mempunyai batas-batasnya.
2.3
Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Apabila
mendapatkan pengajaran merupakan hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari
sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib
menciptakan instrumen-instrumen bagi pencerdasan rakyatnya.
2.4
Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalat)
dari Negara.
Tidaklah
mungkin seorang warga negara dalam Negara Islam hidup terlantar dalam
kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara mengetahuinya.
Negara Islam wajib mengelola zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat
dari setiap muslim yang telah wajib membayar zakat. Apabila zakat tidak
mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya dengan harta Baitul Mal.[7]
Selain
itu secara umum hak rakyat antara lain:
1
warga
Negara harus diberi semua hak yang ditetapkan oleh hukum islam kepada mereka;
yaitu bahwa mereka akan dijamin , dengan batas-batas hukum tersebut, keamanan
hidupnya secara penuh, kekayaan dan kehormatannya, kemerdekaan beragamanya,
kemerdekaan beribadahnya, kemerdekaan orangnya, kemerdekaan mengeluarkan
pendapatnya, kemerdekaan berserikat dan berkumpulnya, keleluasaan bergeraknya,
kemeerdekaan bekerjanya, kesamaan kesempatan dan haknya untuk memanfaatkan
semua pelayanan umum.
2
Kapanpun
juga, tidak akan ada seorang warga Negara yang lebih dirampas semua haknya ini;
kecuali dibawah hukum. Tidak ada seorang
warga Negara yang akan divonis karena suatu dakwaan tanpa sepenuhnya diberi hak
untuk membela diri dan tanpa keputusan pengadilan yang sah.
3
Semua
mazhab pemikiran muslim yang diakui, didalam batas-batas hukum, akan memiliki
kemerdekaan agama sepenuhnya. Semuanya behak untuk menyebarluaskan segala
perintah keagamaan kepada penganutnya dan berhak mempropagandakan
pandangan-pandangan mereka.
Masalah-masalah yang berada di bawah lingkup hukum pribadi akan
diselenggarakan sesuai dengan masing-masing fiqh mereka.
4
Para
warga Negara non muslim , dalam batas-batas hukum, akan memiliki kemerdekaan
beragama dan beribadat sepenuh-penuhnya, kemerdekaan menganut cara hidup,
kebudayaan dan pendidikan agama. Mereka akan diberi hak untuk menyelenggarakan
hukum pribadi mereka sejalan dengan aturan agama, adat-istiadat dan tradisinya
masing-masing.
5
Semua
kewajiban yang diembang Negara, dalam batas-batas hukum, atas warga Negara non
muslim akan sepenuhnya dihormati. Mereka akan diberi hak sama dengan warga
Negara muslim untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraan.[8]
2.3.2
Kewajiban Rakyat
Kewajiban rakyat ini wajib dilaksanakan
sekalipun imam kurang memenuhi kewajiban dan persyaratannya, karena kewajiban
rakyat lain dengan kewajiban imam, rakyat tidak memikul dosanya imam, tetapi
rakyat berdosa bila mereka tidak menjalankan kewajibannya. Adapun kewajiban
umat yang harus diperhatikan antara lain:
2.3.2.1
Mentaati
imam bila tidak memerintah maksiat
Ibnu
Katsir berkata: “Ayat diatas menjelaskan kewajiban rakyat mentaati pemimpin
apabila perintahnya benar, tetapi bila perintahnya menyelisih yang haq tidak
boleh mentaatinya”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/203).
2.3.2.2
Mentati
imam pada saat suka dan duka
Dari
Abdullah radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
Wajib
mendengarkan dan taat kepada pemimpin muslim dalam hal yang disenangi dan yang
dibenci, selagi tidak diperintah untuk maksiat, tetapi bila diperintah maksiat,
tidak boleh mendengar dan mentaatinya. (HR. Bukhari 6611).
2.3.2.3 Mentaati imam sekalipun dia lebih mementingkan
dirinya daripada kepentingan umat.
Dari
Ubadah bin As-Shamit radhiyallahu ‘anhu. dia
berkata:
Kami
mendengar dan mentaati peminpin kami pada waktu kami bersemangat dan benci,
dalam keadaan sulit atau mudah, (walaupun dia) mendahulukan kepentingan dirinya
daripada kepentingan kami, dan kami tidak akan mencabut urusan yang itu
haknya.. Dia berkata: Kecuali bila engkau melihat benar-benar pemimpin itu
kafir, bagimu punya bukti disisi Allah. (HR. Muslim 3427).
2.3.2.4 Wajib menasehati pemimpin bila salah, dengan
tidak menyebarkan aibnya dihadapan umat.
Adapun
dilarang menyebarkan aib pemimpin di hadapan umat, kita dapat melihat kembali
sejarah Raja Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai tuhan, raja kekufuran dan
kesyirikan, tetapi Allah menyuruh Nabi Musa dan saudaranya Harun agar
mendatangi Fir’aun dan menasihatinya dengan lembut dan sopan. Sabda
Rasullullah saw :
Barangsiapa
menasihati pemimpin, janganlah di depan umum, tetapi datangi dia dengan
menyepi, jika diterima (nasihat) maka itulah yang diharapkan. Jika tidak
menerima, dia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.
(Li\hat Musnad As-Syamiyyin 2/94). [9]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam konteks
keislaman arti pemimpin dalam konsep lughoh sering disebut dengan sebutan imam,
khalifah dsb. Namun pada esensinya seorang pemimpin itu
diproyeksikan untuk mengambil alih peran serta fungsi nabi dalam menjaga agama
dan mengatur dunia. Untuk memilih seorang pemimpin ada dua cara yag cukup signifikan Yang pertama,
adalah pemilihan oleh parlemen ( ahlu al-aqdi wa al-hal ) dan yang kedua adalah
dengan cara ditunjuk oleh pemimpin atau khalifah sebelumnya. Hak pemimpin
menurut Al-Mawardi ada dua yaitu hak untuk ditaati oleh rakyatnya dan hak untuk
dibantu jika pemimpin tersebut mengalami suatu permasalahan yang susah untuk
dipecahkan.
Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya,
maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila
kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya
tanpa perlu dituntut.
3.2
Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari
sangat banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
A’la
Maududi, Sayyid Abul.1995. Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan.
Djazuli. 2003.
Figh Siyasah. Bogor:
Prenada Media.
Muhammad, Rusjdi Ali. 2000. Politik Islam.
Yogyakarta : PT. Arun, Pim dan Yasat.
Syarif, Mujar
Ibnu dan Khamami Zada. , 2008. fiqh
Siyasa (Doktrin dan Pemikiran Politik Islam). Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar