Sabtu, 23 April 2016

MAKALAH; Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’ paraktis dari nash yang ada, baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi maknanya, baik yang  jelas  maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak bisa di artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di bahas mengenai lafadz-lafadz dari segi ketidakjelasan makna (Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih) dan contohnya.
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1        Apa yang dimaksud dengan lafadz dari segi ketidakjelasan Makna?
1.2.2        Jelaskan  bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan makna dan contohnya?
1.3    Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui pengertian lafadz dari segi ketidakjelasan makna.
1.3.2        Untuk mengetahui bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan makna dan contohnya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Lafazh dari Segi Ketidakjelasan Makna
Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.[1]
Nash yang kurang jelas dalalahnya ialah nash yang dalalahnya baru ditemui melalui petunjuk dari luar nash itu. Kalau hal yang menyebabkan kurang jelas itu dapat dihapuskan sesudah mengerahkan daya pikiran dan kesungguhan, maka dinamakan al-khafi atau musykil. Kalau hanya dapat dihilangkan melalui penjelasan dari pembuat peraturan itu sendiri dinamakan al-mujmal dan kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali dinamakan al-mutasyabih.[2]



2.2  Al-Khafi
2.2.1.      Pengertian Al-Khafi
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan Menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Adib Salih adalah suatu lafal zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafal tersebut menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.[3]
Khafi dalam istilah ushul, yaitu lafazh yang menunjukkan terhadap maknanya dengan dalalah yang nyata. Akan tetapi dalam penerapan maknanya pada sebagian satuan-satuannya terdapat semacam kesamaran dan ketersembunyian yang untuk menghilangkan diperlukan analiasis dan pemikiran. Lafazh tersebut dianggap khafi (samar, tersembunyi) dalam konteksnya dengan sebagian satuan-satuan ini.
Sebab munculnya kesamaran ini ialah bahwasanya satuan tertentu di dalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya atau satu sifat berkurang dari satuan itu atau ia mempunyai suatu nama khusus. Tambahan atau kekurangan atau penamaan khusus ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan. Oleh karena itu, maka lafazh tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan satuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafazh itu sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal yang khariji(eksternal). Untuk menghilangkan ketidakjelasan makna lafal, maka perlu pencermatan dan peninjauan. Atau dengan kata lain, untuk memahami makna khafi perlu ijtihad ulama.[4]
2.2.2.      Contoh Lafazh Khafi
Contohnya lafal السَّارِقُ  yang berarti pencuri dalam ayat:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù ………$yJßgtƒÏ÷ƒr& ÇÌÑÈ  
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…(QS.AL-Maidah:38)
Lafal السَّارِقُ (pencuri) berarti orang yang mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi arti ini menjadi tidak jelas, jika diterapkan pada satuannya yang mempunyai nama tersendiri. Misalnya Nubasy, yakni seseorang yang mengambil kain kafan mayat dari dalam kubur. Apakah termasuk dalam lafal السَّارِقُ (pencuri) atau tidak?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
2.2.2.1  Ulama Hanafiyah menyatakan Nubasy tidak termasuk dalam arti السَّارِقُ (pencuri), sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan sebab (1) benda yang diambil tidak termasuk benda yang disukai, (2) benda yang diambil tidak terdapat ditempat penyimpanan, dan (3) benda yang diambil tidak ada pemiliknya, bukan milik mayat dan bukan milik ahli warisnya.
2.2.2.1  Imam syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf, menyatakan bahwa Nubasy termasuk kedalam arti lafal السَّارِقُ (pencuri), oleh karena itu ia dikenakan hukuman potong tangan kepada yang mengambilnya, dengan alasan (1) bahwa pengambilan benda itu dilakukan disaat sepi, (2) bahwa tempat penyimpanan benda adalah sangat disesuaikan dengan bendanya dan tidak ada tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali dalam kubur.
Contoh yang lain adalah hadis nabi yang berbunyi:
اَلْقَاتِلُلُ لاَيَرِثُ
Pembunuh itu tidak berhak menerima warisan dari yang di bunuhnya.
Lafal اَلْقَاتِلُلُ (pembunuh) dalam hadis diatas cukup jelas artinya dan tidak diragukan untuk menerapkan hukum terhalang dari hak warisan orang yang membunuh secara sengaja dan terencana. Akan tetapi, apakah lafal اَلْقَاتِلُلُ (pembunuh) dan hukum halangan warisan itu dapat diberlakukan pula terhadap ”pembunuhan tersalah”(tidak sengaja), “pembunuhan bersebab”, “pembunuhan bersama” (dilakukan secara bersama oleh lebih dari dua orang). Hal ini menjadi objek ijhtihad para ulama mujtahid.[5]
Contoh macam ini dalam undang-undang syara’ dan hukum positif banyak sekali. Diantara yang paling jelas adalah sebagai tindakan kriminal yang mengandung keserupaan mengenai apakah ia pidana atau pelanggaran biasa.
Cara untuk menghilangkan kesamaran ini ialah pembahasan dan pemikiran oleh seorang mujtahid. Jika ia berpendapat lafazh tersebut mencakup satuan tersebut, kendatipun dengan  maka ia menetapkannya termasuk dari yang ditunjuki oleh lafazh itu, lalu ia mengambil hukumnya. Acuan mereka dalam ijtihad untuk menghilangkan kesamaran ini ialah illat hukum dan hikmanya, nash-nash yang berkenaan dengan hal ini.[6]
2.3  Al-Musykil
2.3.1        Pengertian Al-Musykil
Lafaz musykil ialah suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya. Sedangkan menurut istilah musykil adalah suatu lafal yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan ada indikator tertentu untuk dapat menjelaskan kerumitan itu, dengan jalan pembahasan dan pemikiran yang mendalam.[7]
Kemusykilan lafadz itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
2.3.1.1  Karena lafaz itu musytarak , yaitu diciptakan untuk beberapa arti sedang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.
2.3.1.2  Adanya dua lafaz yang saling berlawanan. Artinya, kedua nash jelas dalalahnya tetapi, kemuskilannya terletak dalam men-taufiq-kan (mengompromikan) antara kedua nash yang saling berlawanan.[8]
2.3.2        Contoh Lafazh Musykil
Contohnya firman allah swt.:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4........ ÇËËÑÈ  
Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri dari mereka menunggu tiga kali quru’.....(QS.Al-Baqarah:228).
Lafal tersebut secara bahasa memiliki dua arti, yaitu makna suci (اَلْأَطْهَارُ) dan haid (اَلْحَيْضَاتُ). Apakah iddah wanita yang ditalak suaminya, berakhir dengan tiga kali haid atau dengan tiga kali suci.
Imam Syafi’I dan sebagian Mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud lafal al-quru’ dalam ayat diatas adalah suci. Qarinah-nya adalah pen-ta’ nits-an isim adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasanya yang dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci bukan haid.
Ulama Hanafiyah dan sekelompok mujtahid lainnya berpendapat bahwa lafal al-quru pada ayat diatas adalah haid. Qarinah-nya, sebagai berikut:
2.3.2.1  Hikmah pen-tasyri-an iddah. Hikmah dalam kewajiban idddah atas wanita yang ditalak adalah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan, sedangkan yang memberitahukan hal ini adalah haid bukan suci.
2.3.2.2  Firman allah swt.: QS.Ath-Thalaq : 4

Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts ....4
Artinya:”perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause)di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid…. (QS. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat diatas, sebab dihitungnya tiga bulan masa iddah karena tiadanya haid wanita yang ditalak. Oleh karena itu, dapat ditetapkan bahwa pada dasarnya masa iddah dihitung dengan haid.
2.3.2.3  Sabda Rasullullah saw.
طَلاَقُ الْاَمَةِ ثِنْتَانِ وَعِدَّتُهَاحَيْضَتَانِ
Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haid.
Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haid merupakan penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafal al-quru’u dalam iddah perempuan yang merdeka. Adapun pen-takhsish-an nama hitungan, ia dimaksudkan untuk ke mudzakkar lafal yang dihitungnya, yaitu lafal al-quru’.[9]
2.4  Al-Mujmal
2.4.1        Pengertian Al-Mujmal
Mujmal adalah: Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat garis besar.
Secara bahasa Mujmal berarti samar. Secara istilah, para ahli ushul fiqhi mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam Sarakhasi mendefinisikan mujmal sebagai suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang menegeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannnya diketahui makasud lafal tersebut.
Wahbah al-zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafal yang sulit dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan).
Jalaluddun Abd.Rahman mendefinisikan mujmal sebagai lafal yang dalalahnya tidak jelas.[10]
Dari beberapa definisi diatas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang dikutif oleh syar’i dari makna kebahasaanya dan ditetapkan untuk berbagai makna terminologis yang bersifat syar’i secara khusus seperti lafazh sholat, zakat, puasa, dsb. Bukan makna secara kebahasaan.[11]
2.4.2        Contoh Lafazh Mujmal
Lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’, seperti lafaz shalat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz shalat menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri karena ditemui sunnah qauliyah dan sunnah fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’.

Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam firman Allah swt. surah Al-Qari’ah  ayat 1-4:
èptãÍ$s)ø9$# ÇÊÈ   $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇËÈ   !$tBur y71u÷Šr& $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇÌÈ   tPöqtƒ ãbqä3tƒ â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$Ÿ2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ
Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.(QS. Al-Qori’ah: 1-4).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa suatu lafal dapat menjadi mujmal karena : maknanya musytarak, dipalingkan dari makna bahasa pada makna syara, dan lafal itu jarang dipergunakan.[12]
Contoh lain adalah lafal  o4qn=¢Á9$# dalam ayat:                  
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇÍÌÈ
Dan laksanakanlah shalat….(QS.Al-Baqarah:43)
Apabila terhadap lafal mujmal itu mendapat penjelasan dari syara’ secara sempurna maka mujmal menjadi mufassar. Ayat diatas dijelaskan melalui hadis Nabi Muhammad saw. Baik dengan perkataan maupun perbuatan yang menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan caranya.


Rasullullah saw.bersabda:
صَلُّوْ ا كَمَارَاَ يْتُمُونِى اُصَلِّىْ
Salatlah seperti kamu lihat aku melakukan shalat.(HR.Bukhari)
Apabila lafal mujmal mendapat penjelasan dari syara’ tetapi tidak secara sempurna dan pasti maka masih perlu ijtihad untuk menjelaskannya. Jika demikian yang terjadi, mujmal menjadi musykil, sehingga untuk mujmal yang semacam ini diberlakukan ketentuan pada musykil.
2.5  Al- Mutasyabih
2.5.1        Pengertian Al-Mutasyabih
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.[13]
Lafadz mutasyabih menurut ulama ushul fiqih adalah lafaz yang sighatnya tidak menunjukkan maksudny dengan sendirirnya, dan tidak ditemukan qarinah eksternal yang menerangkannya, dan syar’I memonopoli pengertiannya tanpa menafsirkannya.
Mutasyabih hanyalah ditemukan pada tempat-tempat lain daripada nash, seperti potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surah al-qur’an: Alif Lam Mim, Qaf, Shad, Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang zhahirnya bahwasanya allah swt. Menyerupai makhluknya dalam hal bahwa dia mempunyai tangan, mata dan tempat.
2.5.2        Contoh Lafazh Mutasyabih
Contoh lafal dalam firman allah swt.:
ÆìoYô¹$#ur y7ù=àÿø9$# $uZÏ^ãôãr'Î/ ……..$oYÍŠômurur
Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami”.(QS.Hud:37)
Dan firmanNya:
$tB Ücqà6tƒ `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO žwÎ) uqèd óOßgãèÎ/#u Ÿwur >p|¡÷Hs~ žwÎ) uqèd öNåkޝϊ$y Iwur 4oT÷Šr& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽsYò2r& žwÎ) uqèd óOßgyètB tûøïr& $tB (#qçR%x. ( § 
Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang, melaingkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan) antara lima orang, melaingkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara( jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melaingkan dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada…”(QS. Al-Mujadalah: 7).
          Ayat yang mengandung lafal yang mutasyabihat seolah-olah menyerukan tuhan kepada makhluk-nya seperti lafal tangan, mata dan allah berada di dekat manusia, tidak mungkin diketahui arti dan maknanya melalui bahasa , karena Allah Mahasuci dari kemiripan dari makhluk-nya.
            Dalam menghadapi lafal Mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat. Para ulama salaf  hanya menyerahkan kepada allah saja, karena allah yang maha tahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia wajib mengimaninya dan tidak mencari-cari ta’wilnya.
            Adapun pendapat ulama khalaf, maka bahwasanya ayat-ayat ini, zhahirnya mustahil, sebab allah tidaklah bertangan, tidak pula bermata, tidak pula bertempat. Setiap sesuatu yang zhahirnya mustahil dikehendakinya, maka wajib di ta’wilkan dan dipalingkan dari yang zhahir ini, dan dimaksudkan makna yang mungkin bagi lafazh itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan khaliq dengan makhluknya. Firman allah swt.:
ßtƒ……….. «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& ………
…..Tangan allah diatas tangan-tangan mereka…..”(QS. Al-Fath:10)
Ta’wilnya adalah kekuasaan allah berada diatas kekuasaan mereka.
Firman allah swt.:
$tB Ücqà6tƒ `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO
Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang….”
Pentakwilanya adalah bahwasanya allah swt. Bersama setiap orang yang saling berbicara secara rahasia , dengan pengetahuannya dan pengawasannya. Demikian seterusnya.

Munculnya perbedaan ini ialah perselisihan mereka mengenai firman allah swt. Mengenai halnya ayat-ayat mutasyabihat:
$tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u
Artinya: “…..Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melaingkan allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :” Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami”.(QS.Ali-Imran:7)
Barangsiapa yang menjadikan pemberhentian (waqaf) pada lafaz keagungan (allah), maka ia berpendapat tiada yang mengetahui mutasyabih kecuali allah, maka kami beriman kepadanya dan menyerahkan pengertianya kepadanya, serta kami tidak mengkaji pentakwilannya. Dan barangsiapa yang meletakkan pemberhentian (waqaf) pada kata  ÉOù=Ïèø9$#Îûbqãź§9$#ur , maka ia berpendapat: “Tiada yang mengetahui takwilnya kecuali allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mngetahui takwilnya dengan memaksudkan makna yang mungkin dikandung oleh lafazh dan sesuai dengan pensucian Khaliq dari penyerupaan dengan makhluknya.




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Khafi adalah lafaz yang dari segi ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu yang merupakan bagian dari satuan-satuannya. Sehingga untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan analisis dan pemikiran yang mendalam. Musykil adalah lafaz yang memiliki kesamaran yang disebabkan dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya. Karena hal tersebut, sehingga diperlukan qarînah untuk menjelaskan maksudnya. Mujmal adalah lafaz yang dengan sighatnya tidak menunjukkan arti yang dimaksud. Sehingga sebab kesamarannya bersifat tekstual (lafzhiy) dan bukan hal yang datang kemudian. Mutasyâbbih adalah lafaz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada qarînah yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
3.2    Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Daftar Pustaka
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Sumatra Utara : Amzah.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama Semarang.
Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
  Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Uman, Khairul dan H.A.Achyar Aminuddin. 1998. Ushul Fiqhi II. Bandung:CV.Pustaka Setia.
Yahya, Mukhtar. 2000. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,  (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h.101
[2] Khairul Uman dan H.A.Achyar Aminuddin, Ushul Fiqhi II, (Bandung:CV.Pustaka Setia, 1998) h.14
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) h.164
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Semarang: Dina Utama Semarang,1994) h.259
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Sumatra Utara : Amzah,2005),h.164
[6]  Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.261
[7] Rachmat Syafe’i, op.cit., h.165
[8] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),h.204
[9] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.cit.,h.237
[11] Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.265
[12] Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000) h.289-290