Kamis, 11 Agustus 2022

MAKALAH :Filsafat Kenabian (Nubuwwah) dan Aplikasinya terhadap Ekonomi Islam

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pada zaman Jahiliah, menurut Sayid Ali Khomaeni, manusia mengalami
kekurangan material dan spiritual.[1]Kekurangan material berdampak taraf kesejahteraan dan keamanan sosial sangat rendah. Sedangkan kekurangan spiritual mengakibatkan masyarakat kosong dari jalan hidup yang bersih dan cita-cita hidup yang bening. Mengingat tugas Nabi diantaranya sebagai pemberi peringatan, maka pada zaman Jahiliah Nabi diutus untuk memimpin dan membimbing manusia menuju jalan lurus dan menghilangkan kejahatan di antara mereka.

Keterbasan pengetahuan manusia juga salah satu alasan mengapa kita membutuhkan Nabi. Meskipun manusia telah diberikan akal oleh Allah dan zaman sudah semakin canggih dengan teknologinya, tetapi akal manusia tidaklah sanggup mengetahui semua pengetahuan yang dimiliki Allah. Keterbatasan inilah yang mengakibatkan perlunya pengutusan Nabi dari sisi pengajaran. Selain itu, manusia juga memerlukan pemimpin dalam sisi pengajaran untuk mempelajari etika dan akhlak. Karena faktor tersebut, Nabi dibutuhkan sebagai pempimpin baik pada bidang moral, sosial, maupun politik.

Kenabian menjadi salah satu hal yang penting bagi ummat manusia, setiap agama
memiliki ajaran yang berbeda masing-masing, maka dari itu, perlulah adanya perantara
untuk menyampaikan ajaran agama tersebut. Setiap agama samawi merupakan manifestasi visi Tuhan melalui proses wahyu dan ilham yang diberikan kepada Nabi maupun RasulNya. Seorang Nabi adalah manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan-Nya dan mengekspresikan kehendak-Nya. Ia merupakan penghubung antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya.[2] Bagaimanapun juga, tanpa kehadiran nabi sebagai pembawa ajaran agama, maka manusia tidak akan mengetahui ajaran tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang mengingkari keberadaan nabi, sehingga mereka meyakini bahwa hadirnya nabi tidak diperlukan dengan beberapa alasan. Kritikan dari penentang ini bukan hanya ada pada zaman sekarang, namun sejak Zaman Nabi Nuh. Di antaranya adalah,bagi mereka yang tidak meyakini adanya tuhan,maka nabi pun tidak akan mereka yakini, karena bagaimana bisa meyakini sedangkan tuhan tidak mereka yakini.

Selain itu ada yang mengatakan bahwa Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.[3] Dengan demikian mereka memandang bahwa superioritas akal mengindikasikan ketidakbutuhan manusia akan hadirnya nabi.

Beberapa ulama dan sarjana islam tidak dapat diam akan hal ini , mereka
mengeluarkan kemampuannya untuk menjawab para pengkritik kenabian, diantaranya adalah al-Mawardi dan al-Farabi mereka dikenal sebagai filsuf yang memiliki wawasan luas dalam politik, sehingga al-Mawardi mendefinisikan kepemimpinan atau imamah sebagai satu instuisi kekuasaan yang berfungsi sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia atau sosial.[4] Maka dengan begitu, al-Mawardi pun memandang bahwa nabi sangat penting, karena nabi adalah sosok sentral bagi manusia sebagai panutan hingga para penerusnya harus menjadikannya teladan demi menjaga kebaikan manusia itu sendiri. Maka dari itu pembahasan ini sangat penting agar kita dapat mengerti secara jelas dan mendalam bagaimana Konsep Kenabian tersebut.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan yang telah dijelaskan pada latar belakang, pokok masalah dalam makalah ini adalah:

1.    Bagaimana Pendapat tokoh tentang filsafat kenabian?

2.    Bagaimana pentingnya keberadaan Nabi dan Rasul dan argumentasinya?

3.    Bagaimana Penerapan konsep  Nubuwwah dalam ekonomi Islam?

 

C.  Tujuan

Adapun tujuan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1.    Untuk mengetahui pemikiran para tokoh mengenai filsafat kenabian.

2.    Untuk mengetahui pentingnya keberadaan Nabi dan Rasul.

3.    Untuk mengetahui Penerapan konsep  Nubuwwah dalam ekonomi islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A.       Definisi Filsafat Kenabian

Al- Farabi, filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan, Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat juga adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Sehingga filsafat dapat juga dikatakan sebagai mother of science karena mempelajari suatu hakikat dari pengetahuan.

Agama adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena dengan agama, manusia dapat mencapai kebahagiaannya yang dirasakan didalam hati. Maka agama diturunkan dari Allah kepada manusia melalui utusannya, maka dari itu, keberadaan nabi dan rasul sangat dibutuhkan untuk membawa ajaran yang menuntun kepada kebenaran.

Kata Nabi berasal dari kata kerja (fi‟il) bahasa Arab Nabba‟a yanabbi‟u yang berarti memberi kabar. Kata Nabi diderivasi dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab, yang berkedudukan sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fa‟il) yang berarti orang yang membawa kabar atau berita. Kata Nabi yang bermakna harfiah sebagai pembawa berita ini kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga Nabi berarti orang yang diutus Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk manusia.[5]

Menurut bahasa, Nabi berarti orang yang diberi berita atau menerima. Namun menurut istilah agama, Nabi ialah seseorang yang menerima wahyu dari Tuhan yang berkenaan dengan syari‟at agama dan kalau dia disuruh menyampaikannya kepada orang banyak, maka dia menjabat Nabi dan Rasul.[6] Sedangkan pengertian Nabi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya untuk kepentingan dirinya dan ia tidak diwajibkan meneruskan wahyu itu kepada orang lain.[7] Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah bahwa seorang Nabi semata-mata menerima risalah dari Allah, tetapi seorang rasul selain menerima risalah tersebut memiliki misi untuk menyebarkan kepada manusia.[8] Percaya kepada rasul merupakan salah satu diantara rukun iman. Kepercayaan tersebut mendorong ummat untuk mengamalkan perintah yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya, yang di sebut dengan wahyu-al-Qur’an.

B.       Filsafat Kenabian

Namun dalam makalah yang dibuat oleh Yolmarto Hidayat, ia menjabarkan pengertian Filsafat dan Nabi, kemudian ia menyimpulkan bahwa filsafat kenabian merupakan
pemikiran atau pengetahuan yang membicarakan tentang hakikat Nabi dan kedudukannya dibandingkan dengan manusia lainnya, terutama filosof. Sedangkan menurut penulis, dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka filsafat kenabian diartikan sebagai suatu kajian tentang tema kenabian yang menguraikan masalah kenabian dari urgensi kenabian itu sendiri, baik dalam hal peran historis maupun tujuan adanya para Nabi, karakter Nabi, mukjizat yang
dimiliki para Nabi, serta hal lain yang berkaitan tentang kenabian secara mendalam dan bersifat universal.

Jika dicermati lebih dalam pendapat para filosof tentang kenabian dapat dibedakan menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang menerima kenabian dan kedua, pendapat yang dipandang menolak eksistensi kenabian-walaupun pendapat kedua ini juga dibantah oleh sebagian pendapat yang lainnya.

Filosof muslim yang secara tegas menerima eksistensi kenabian dengan berbagai penjelasan filosofis mereka antara lain Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Ibnu Rusyd, Al-Thusi, Al-Ghazali, dan Muhammad Abduh.

 Menurut Al-Farabi akal kesepuluh yang disebut akal fa‟al, dalam pandangan Islam
dinamakan malaikat. Para filosof dan para Nabi memperoleh pengetahuan dengan
bersumber pada akal fa‟al. Namun bedanya, para filosof untuk berhubungan dengan akal fa‟al melalui usaha dengan latihan dan kotemplasi kemudian filosof mengadakan komunikasi dengan akal mustafad. Sedangkan para Nabi, mengadakan kontak dengan akal fa‟al (malaikat) bukan dengan akal namun dengan pengetahuan yang disebut Al-Mutakhayyilah atau imagination. Karena para Nabi telah diberi imaginasi yang kuat, sehingga tanpa latihan dapat berhubungan dengan akal fa‟al.[9]

Sedangkan kenabian menurut Ibnu Sina, Nabi berada pada puncak keunggulan yang tertinggi dalam lingkungan pada bentuk material. Karena yang unggul berdiri di atas yang rendah serta menguasainya, maka Nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya dan menguasainya. Bentuk material adalah adanya kekuatan pertama yang mampu menerima gambaran tentang bentuk-bentuk universal yang diabstrakkan dari benda dan yang ada pada dirinya tidak mempunyai bentuk. Kekuatan pertama itulah yang dimaksud dalam bentuk material. Sedangkan wahyu merupakan bentuk pancaran yang diterima oleh para Nabi dan yang turun pada mereka, seolah-olah ia merupakan pancaran yang bersambung dengan akal universal yang terinci bukan secara esensial melainkan secara kebetulan disebabkan kekhususan para penerimanya.[10] kendati demikian, pemberian wahyu pada Nabi bukan sekedar penerimaan irasional, melainkan memiliki tertib rasional sebab-akibat. Untuk menunjukkan proses sebab-akibat tersebut, Ibnu Sina menjelaskan bahwa manusia memiliki kekuatan intuisi yang berbeda. Ada manusia yang memiliki intuisi yang lemah, dan ada manusia secara alami berbakat sehingga ia berintuisi terhadap segala sesuatu dengan sekali bergerak. Dengan intuisi yang kuat tersebut, akal aktif memancarkan segala bentuk pengetahuan, masa lampau, masa kini, dan masa yang akan dating kedalam jiwa Nabi, karena hanya Nabi yang mempunyai intuisi yang paling tinggi dibanding makhluk lainnya.[11]

Namun menurut Ibnu Miskawaih, Nabi merupakan seorang muslim yang memperoleh hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filosof memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yakni dari daya indrawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke daya berfikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat atau kebenaran dari akal aktif. Sementara Nabi mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari akal aktif langsung kepada Nabi sebagai rahmat Allah. Jadi, sumber kebenaran yang diperoleh Nabi dan filosof sama-sama dari akal aktif, pemikiran ini juga sejalan dengan Al-Farabi.[12]

Lalu menurut Ibnu Rusyd, mukjizat yang dimiliki Nabi seperti mengubah tongkat menjadi ular, dapat membelah laut dan sebagainya hanya merupakan sesuatu yang digunakan untuk mengalahkan orang-orang yang menentangnya. Alquran bukanlah mukjizat yang dimiliki Nabi Muhammad melainkan wahyu Tuhan dan sebagai firman yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Mukjizat dalam pandangan Ibnu Rusyd ada dua macam. Pertama, mukjizat luaran (alkarammi) yaitu mukjizat yang sesuai dengan sifat para Nabi seperti membelah lautan. Mukjizat ini hanya menjadi tanda penguat tentang adanya kerasulan sebagai tanda jalan keimanan orang awam terhadap kenabian. Kedua, mukjizat yang sesuai (al immasib) dengan sifat kenabian tersebut maka peraturan yang dibawanya untuk kebahagian manusia. Mukjizat ini merupakan tanda kerasulan yang sebenarnya, sekaligus sebagai jalan keimanan bagi para ulama dan orang awam dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.[13] Menurutnya, mukjizat kedua inilah yang dijadikan pegangan dalam mengakui kerasulan.

Filosof lain, seperti al-Tusi juga mengemukakan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan idividu mengakibatkan tercerai berainya kehidupan sosial, karena diperlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada di luar jangkauan indra, oleh karena itu Tuhan mengutus para Nabi untuk menuntun umat. Peran para Nabi diutus Tuhan untuk memimpin spiritual, dan menerapkan aturan suci dari Tuhan.

Filosof lainnya yang secara tegas mengakui eksistensi dari urgensi kenabian adalah Al-Ghazali. Meskipun Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut alFalasifah menentang teori kenabian dari Al-Farabi, dengan mengatakan bahwa Nabi dapat berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa melalui perantara malaikat atau tanpa akal fa‟al, namun dalam buku al-Munqidzu minad-Dlalal al-Ghazali menulis bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat, dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari tulisan tersebut terlihat bahwa pemikiran al-Ghazali senada dengan Al-farabi mengenai gejala kejiwaan. Bahwa melalui tidur ketika bermimpi, bisa jadi dalam mimpi tersebut dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan jelas maupun dengan perumpamaan.[14]

Selain itu, Muhammad Abduh dalam bukunya Al-Bashair An-Nashiriyyah yang menguraikan tentang kerasulan. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berbudaya (sosial) yang menurut tabiatnya memerlukan pergaulan. Dalam pergaulan tersebut masing-masing individu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Namun, terkadang diantara mereka mencampur-adukkan hak dan kewajibannya, sehingga kekacauan tidak dapat dihindari. Dengan demikian, maka masyarakat memerlukan petunjuk jalan untuk keluar dari kekacauan tersebut. Selain itu, masyarakat juga memerlukan penerang yang dapat menerangkan apa yang berguna dan bahaya bagi mereka, memisahkan antara yang baik dan buruk, mengajarkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk memperbaiki kehidupan mereka didunia dan akhirat, dan mengajarkan apa yang hendak diberitahukan kepada mereka tentang urusan Zat-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Figur tersebut ada pada para Nabi dan Rasul. Butuhnya manusia terhadap Nabi, menurut M. Abduh seperti otak yang ada pada manusia. Karena Nabi merupakan manusia pilihan Tuhan yang telah diberi wahyu dan ilham, karena jiwa mereka yang tinggi dan dapat menerima limpahan Tuhan serta rahasia-Nya.[15]

Selain beberapa filosof yang secara tegas menerima eksistensi kenabian, juga terdapat beberapa filosof yang dipandang menolak kenabian, mereka adalah Ibn Ar-Rawandi dan Ar-Razi. Ibn Ar–Rawandi dalam karyanya yang berjudul Az Zamar Ruddah, beliau mengkritik ajaran-ajaran Islam pada ibadahnya, dan menolak mu‟jizat-mu‟jizat keseluruhan. Menurutnya Nabi dan Rasul sebenarnya tidak diperlukan lagi, karena Tuhan telah memberikan akal pada manusia, supaya manusia dapat membedakan antara yang baik dan buruk, dan petunjuk akal semata-mata sudah mencukupi.

Selain itu, tokoh filsafat lainnya yang dipandang menolak kenabian adalah Ar-Razi, yang juga merupakan seorang dokter. Beliau menulis dua buku yaitu Mukhariq al anbiya‟ Au Hujal Al Mutanabbiin (mainan Nabi-Nabi atau tipu daya orang-orang yang mengaku Nabi), dan Naqli Al Adyan au fina Nubuwwah (menentang agama-agama atau tentang kenabian). Secara ringkas keduanya menyatakan bahwa Nabi tidak berhak mengaku dirinya sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani karena semua orang itu sama, dan dengan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakan antara orang yang satu dan yang lainnya.[16]

Terkait dengan sikap Ar-Razi yang terlalu menghargai akal, muncul asumsi negatif bahwa ia mengingkari eksistensi wahyu dan kenabian. Tuduhan itu terdapat dalam catatan Abu Hatim ar-Razi, yang merupakan tokoh Syi‟ah Imamiyah yang hidup semasa dengan ar-Razi tapi memusuhinya.[17] Dalam pandangan Amroeni Drajat, pandangan ini merupakan pandangan yang tidak beralasan tentang Ar-Razi, yang dipandang sebagai filosof muslim yang menerima kenabian. Bukti bahwa Ar-Razi mengakui wahyu dan kenabian terdapat dalam karya Ar-Razi yang berjudul al-Thibb al-Ruhani terdapat keterangan bahwa Ar-razi memperoleh penghargaan terhadap akal dibarengi dengan penghargaan terhadap agama dan para Nabi sebagai manusia utama yang harus diteladani. Ia menulis mengendalikan hawa nafsu adalah wajib dalam pandangan rasio, orang berakal, dan semua agama sehingga wajib bagi manusia yang baik, utama dan sempurna menunaikan apa yang diajarkan agama yang benar padanya. Dalam karya lain yang berjudul Bar al-Sa‟ah dan Sirr al-Asrar, ia menulis semoga Allah melimpahkan sholawat kepada ciptaannya yang terbaik yakni Muhammad dan keluarganya. Tulisan tersebut menandakan bahwa ia benar-benar seorang filsuf Muslim.

Selain Amroeni Drajat, Sirajuddin Zar juga menjelaskan bahwa dalam buku yang ditulis Ar-Razi yaitu al-Thibb al-Ruhani, ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepada-Nya agar mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Selain itu Ar-Razi juga menyebutkan bahwa manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Karena syariah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta bisa mencapai kenikmatan abadi.[18] Selain itu, dalam buku tersebut juga ditemukan bahwa Ar-Razi memberikan perhatian dan kepercayaan yang cukup besar pada akal. Namun perhatian dan kepercayaannya terhadap akal, tidak membuat Ar-Razi meletakkan wahyu dibawah akal, apalagi sampai tidak percaya terhadap wahyu.

Sedangkan menurut Abdul Latif Muhammad Al-„Abd seperti yang telah di kutip oleh Sirajuddin, tuduhan yang ditujukan pada Ar-Razi bahwa ia tidak mempercayai kenabian, didasarkan pada buku Makhariq al-Anbiya. Buku tersebut sering dibaca dalam pengajian kaum Zindik terutama Qaramithah. Pada buku tersebut terdapat bagian dari buku A‟lam al-Nubuwwah karya Abu Hatim Al-Razi yang tidak pernah ditemukan.

C.      Syarat Kenabian

Nabi bukanlah berasal dari orang sembarangan melainkan nabi adalah orang yang
dipilih oleh Allah, karena sebelum menerima wahyu, seorang nabi telah dikenal memiliki
akhlak mulia, suci dari dosa (al-zaka’), menjauhi perilaku tercela dan kotor (al rijs).[19]Al-Mawardi menawarkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang mengaku
bahwa ia adaah nabi dan rasul.

Pertama, seseorang yang mengaku nabi harus memiliki sifat dan kepribadian yang
menunjang kebenaran kenabiannya.

Kedua, seseorang yang mengaku nabi harus dapat memunculkan mukjizat.
Mukjizat sangat penting untuk membuktikan bahwa seseorang tersebut adalah nabi.

Ketiga, Sifat tidak akan muncul sebelum adanya sesuatu yang disifati, seperti nabi
Isa yang dapat berbicara sejak dalam buaian.Oleh sebab itu dia dipercayai sebagai
nabi.Namun ketika pengakuan sebagai nabi terlebih dahulu muncul sebelum mukjizat,
maka seseorang tersebut harus tetap membuktikannya dengan mukjizat agar seluruh orang
di sekitarnya mengakui kebenaran kenabiannya
.[20]

Al-Mawardi menjelaskan bahwa mukjizat tidak akan muncul kecuali untuk membuktikan kebenaran kenabian. Mukjizat hanya khusus diperuntukkan kepada nabi dan rasul. Karena, mukjizat termasuk dalam kategri hal-hal yang gaib dan hanya diketahui oleh orang yang diberikan kepadanya mukjizat langsung dari Allah. Oleh karena itu, mukjizat tidak bisa dipelajari ataupun ditiru. Beliau menjelaskan pentingnya mukjizat ini karena mukjizat merupakan bukti empiris tentang kenabian seseorang. Maka dari itu, seperti yang telah disebutkan sebelumny, al-Mawardi mengategorikan kenabian ini sebagai ilmu iktisab yaitu ilmu yang harus disertai dengannya bukti, dan mukjizat ini adalah bukti empiris tersebut.[21]

Mereka para Nabi selain mendapat mukjizat, mereka juga mendapat keistimewaan
dengan wahyu yang diterimanya, dan terbukanya tabir  rahasia ilmu bagi mereka.
Dan mereka bersih dari cacat dan segala cela yang dapat menjadikan penolakan bagi yang ingkar untuk mengingkari pengakuan mereka sebagai Rasul. Mereka tidak berdusta, dan juga tidak lalai dalam menyampaikan akidah-akidah yang diwajibkan bagi mereka untuk menyampaikannya.[22]

D.  Alasan Keberadaan Nabi dan Rasul

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diutusnya nabi dan rasul adalah untuk mengabarkan berita dan pengettahuan dari Allah kepada manusia. Pengetahuan tersebut berisi hukum dan tuntunan yang berguna untuk menjaga manusia dari kerusakan dan membawa mereka menuju kebahagiaan. Mereka yang memegang agama dan melaksanakan ajarannya akan selamat dan menjadikannya pribadi yang baik serta bertakwa kepada Allah. Sehingga bisa dikatakan bahwa nabi dan rasul tidak diutus, maka manusia akan kehilangan sosok pembawa berita tersebut dan juga berarti mereka tidak akan mengetahui hukum dan tuntunan hidup mereka.[23]

Al-Afghani salah seorang yang berpengaruh terhadap pemikiran Muhammad Abduh juga memberikan komentarnya tentang kenabian, ia mengumpamakan masyarakat dengan badan, yang anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, demikian pula masyarakat. Roh masyarakat ialah kenabian, nabi dalam masyarakat sama dengan kedudukan roh bagi badan. Ia juga menghubungkan kenabian dengan hikmah (filsafat), dan letak perbedaannya ialah bahwa kenabian anugerah dari Tuhan yang tidak bisa dicari, tetapi di khususkan oleh Tuhan untuk hamba-hamba yang disukai-Nya, karena Tuhan lebih mengetahui tempat Dia meletakkan risalah-Nya, sedangkan filsafat bisa diperoleh dengan renungan dan pemikiran. Selain itu, nabi adalah terjaga dari kekeliruan, sedang filusuf bisa salah.[24]

Al-Farabi mengatakan diutusnya nabi adalah penting, karena sebagai tauladan bagi
umat untuk berbuat sesuai dengan ketentuan agama yang telah di tentukan dalam kitab
Allah Swt. Tanpa adanya Nabi manusia kebanyakan akan susah memahami ajaran agama karena Nabi diciptakan Tuhan sudah dalam kedudukan yang sempurna tingkat akalnya sehingga bisa langsung sampai kepada akal kesepuluh (Jibril) sebagai pengatur segala sesuatu tanpa perlu adanya usaha terlebih dahulu. Sedangkan filosof akalnya harus senantiasa dilatih agar dapat sampai kepada tingkatan akan Fa’al, sehingga mampu berhubungan langsung kepada akal sepuluh. Jadi semua Nabi adalah filosof dan semua filosof belum tentu adalah seorang Nabi.[25]

Fazlur Rahman mengatakan bahwa diutusnya Nabi adalah penting karena Nabilah
pembawa risalah agama dan mengajarkanya kepada manusia lainya. Menurut Fazlur
Rahman kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah. Karena Al-Qur’an memandang kenabian ini sebagai sebuah fenomena yang bersifat universal, disetiap pelosok pernah tampil seorang rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Rahman mencoba menjelaskan Kenabian ini secara gampang sehingga pembahasan mengenai kenabian ini tidak lagi melangit melainkan membumi, sehingga mampu dipahami oleh manusia secara lebih sederhana dan mudah.[26]

Al-Mawardi menyatakan bahwa diutusnya nabi adalah bukti kasih sayang Allah
kepada manusia untuk menghindarkan mereka dari kerusakan itu. Dengan demikian posisi
nabi sangat penting dan berpengaruh sebagai pembawa berita penting. Mereka adalah agen
yang memberikan bimbingan dan pendidikan bagi manusia sehingga manusia bisa berkembang menjadi pribadi yang sempurna. Posisi nabi yang erat dengan kondisi social di mana nabi dan rasul itu diutus.[27]

Manusia belum cukup dengan panca inderanya mencapai kebahagiaan. Manusia dianugerahi akal agar dapat membedakan hal yang baik dan buruk, menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya untuk dihindari atau ia tinggalkan, kabar yang benar memiliki posisi yang penting untuk memberi tahu manusia pengetahuan tentng tuhan . Kabar terpercaya berasal dari orang terpercaya . Orang yang terpercaya ini langsung membawa pesan dan pengetahuan yang ia dapatkan dari Allah. Sehingga bisa dikatakan bahwa orang ini sangat penting, karena tanpanya pengetahuan tentang Allah tidak bisa didapatkan. Sosok tersebut adalah nabi dan rasul.

Beberapa faktor yang membuat manusia membutuhkan para Nabi yang dikutip
dari berbagai referensi antara lain:

1.    Membebaskan Manusia dari Belenggu Perbudakan dan Kezaliman

Diantara tujuan kenabian adalah membebaskan manusia dari belenggu perbudakan dan kezaliman para tiran yang tiada henti-hentinya menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Para Nabi, sepanjang sejarahnya memberikan penerangan di tengah-tengah kegelapan untuk memerangi kerusakan, kesesatan, dan kegelapan. Para Nabi berjalan di muka bumi untuk membebaskan ruh manusia dan meletakkannya di jalan yang lurus yang mengantarkannya pada sumber kebenaran.

2.    Keterbatasan Pengetahuan Manusia

Setiap manusia yang dilahirkan tentu dilengkapi dengan akal. Namun akal yang dimiliki manusia tidak akan cukup untuk memahami keagungan Allah. Kemajuan teknologi yang semakin canggih di era modern dewasa ini, juga tidak akan sanggup membimbing umat untuk menyelami pengetahuan Tuhan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan manusia tidak akan bisa dibandingkan dengan pengetahuan dan keesaan Tuhan. Oleh karenanya dibutuhkannya Nabi sebagai penuntun umat, untuk memahami kebesaran Tuhan sekaligus perantara antara Tuhan dengan hamba-Nya dan pembawa kabar gembira bagi umat-Nya yang taat pada-Nya.

Tujuan utama penciptaan manusia adalah kesempurnaan dan pembinaan dalam segala bidang. Untuk itu manusia membutuhkan pengajaran yang benar dan tepat agar terhindar dari kekeliruan, dan bisa menyikapi realitas kehidupan secara benar. Terlebih lagi kehidupan di alam semesta tidak terlepas dari hubungan interaksi antar makhluk hidup, sehingga antar individu harus saling menghargai. Untuk menciptakan hubungan yang harmonis, dibutuhkan suatu pola interaksi yang dinamis. Dalam kontak inilah Nabi diutus, guna memberi pengajaran, dapat memimpin dan membimbing manusia dalam bidang social dan moral.

3.    Keraguan dan Ketidakpastian

Hal lain yang menjadikan manusia membutuhkan para Nabi serta mendorong hilangnya kepercayaan terhadap hukum-hukum dan aturan manusia adalah keraguan alamiah yang senantiasa menggelitik benaknya. Sebagai contoh, dalam membuat hukum dan aturan, seseorang akan dipengaruhi oleh pengetahuan, keluasan wawasan, dan kecerdasaanya. Keraguan tersebut mengarah pada kemungkinan berbuat salahnya manusia dalam membuat suatu aturan sehingga akan berdampak adanya orang lain yang kecewa atas hukum atau aturan tersebut.

Allah mengutus para Nabi ke tengah-tengah umat dengan tujuan mempersiapkan manusia bagi perjalanannya menuju evolusi hakikinya. Dalam setiap perjalanannya itu dibutuhkan seorang pembimbing yang dapat menunjukkannya arah, jalan, dan tujuan yang benar. Di antara berbagai kebutuhan yang muncul dalam kehidupan manusa, kebutuhan terhadap seorang pembimbing merupakan yang paling pokok, mengingat tanpa manusia akan menempuh jalan yang keliru dan menyesatkan.

4.    Nabi sebagai Pembawa Hukum

Kehidupan sosial tentu saja tidak dapat terhindar dari konflik. Konflik tersebut muncul ketika manusia atau masyarakat mengalami kesulitan yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik karena adanya hak-hak dan kepentingan yang tidak terpenuhi sehingga berdampak timbulnya tindakan agresif bahkan sampai pada peperangan.

Disinilah perlu adanya hukum yang jelas untuk memecahkan konflik yang muncul dalam interaksi sosial. Selain Tuhan dan orang-orang yang menerima wahyu Ilahi, tidak mungkin ada pemberi hukum terbaik. Sehingga Tuhan yang menciptakan manusia untuk mencapai kesempurnaan harus mengutus seseorang sebagai pemandu untuk meletakkan hukum-hukum Ilahi bagi kepentingan manusia.[28]

E.  Argumentasi Pentingnya Kenabian

Gambaran diatas sebenarnya telah membuktikan kepada kita bahwa kenabian adalah hal yang penting bahkan niscaya. Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan diutusnya para Nabi, yaitu sebagai berikut:

1.    Argumentasi kebijaksanaan ( Hikmah). Kita ketehaui bahwa Allah swt. Adalah maha bijaksana, karenanya dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama).orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.

2.    Argumentasi Rahmat. Allah swt senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayangnya tersebut, dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukumnya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu dia akan mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.

3.    Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk meberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu allah mengutus Nabi dan Rasul.

4.    Argumentasi keadilan. Allah maha adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.

Argumentasi- argumentasi di atas menujukkan dengan jelas akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat- ayat al-qur’an yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Sseandainya para nabi tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.

F.   Prinsip Nubuwwah dalam Ekonomi Islam

Karena sifat rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu Allah. Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim, Allah telah mengirimkan manusia model yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualitas) dan tabligh (komunikasi keterbukaan dan pemasaran).

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

 PENUTUP

A.      Kesimpulan

         Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa keberadaan nabi sangatlah
penting bagi kehidupan manusia, karena telah dijelaskan bahwa akal manusia lemah
serta memiliki batasan tertentu maka perlu adanya nabi untuk menyamaikan pengetahuan dari Allah kepada ummatnya, yang tidak dapat dicapai dengan akal manusia sendiri, karena adanya akal adalah untuk membedakan hal yang baik dan benar maka dari itu, ajaran dari nabi dan rasullah yang menuntun kita kepada jalan kebenaran. Penjelasan ini juga menjelasakan bahwa mukjizat tidak dapat disamakan dengan sihir, karena mukjzat merupakan sesuatu yang tidak dapat dipelajari, dan ditirukan, beda halnya dengan sihir yang dapat dilakukan setelah menguasainya maka mukjizat adalah salah satu tanda kenabian yang pasti ada atas izin dari Allah untuk membuktikan kenabiannya.

         Dengan jawaban yang lugas dan logis dari al-Mawardi dengan filosof yang lain
memberikan kita penjelasan yang luas tentang pentingnya kenabian dan mengingkari
faham yang mengatakan ketidakadaan kenabian, dan penjelasan yang diberikan al-Mawardi sangat akademis dan masuk akal dan tidak terlepas dari dasar al-Qur’an., dan dapat dijadikan alasan keberadaaannya sangat pentig.

B.       Saran

Dalam pembuatan makalah masih banyak kesalahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu diharapkan pembaca memberi kritik serta saran yang membangun agar dalam pembuatan makalah lainnya bisa lebih baik lagi.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa, Filsafat Islam (Pustaka Setia: Jakarta, 2007)

Abu Hasan al-Mawardi,  A'lam al-nubuwwah. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hilal 1409.

Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Buat yang Pengen Tahu) (Erlanggga:Jakarta, 2006).

Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta:balai Pustaka, 1998).

Fachruddin, Ensiklopedia Alquran 2 (Jakarta, Rineka Cipta, 1992) cet 1, jil 2, hal 199

Fazlur Rahman, Kontroversi KenabianDalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi), (Mizan: Bandung, 2003)

Hamid Fahmy Zarkasyi,world view islam, 2018,Ponorogo: Darussalam Press.

Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Pedoman Ilmu Jaya:Jakarta, 1992).

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam , (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1999).

Lalu Agus Setiawan,Analisa Sufistik Mimpi Nubuwwah dalam proses Kenabian, dalam Jurnal Tasawuf dan pemikiran Islam, vol.I, No.I, Thn 2011.

Nashir Makarim Syirazi, Belajar Mudah tentang Allah SWT, Kenabian, keadilan Ilahi,kepemimpinan (Imamah), Kebangkitan di Akhirat (Lentera Basritama: Jakarta, 2004)

Qasim Nur Sheha Dzulhadi,Al-Farabi dan Konsep Kenabian, dalam Jurnal Kalimah, vol.12, No.I. Thn 2014.

Sayyid Ali Khamene‟i, Mendaras Tauhid Mengeja Kenabian (Jakarta: Al-Huda, 2011).

Sirajuddin zar, Filsafat (filosof dan filsafatnya) (Rajawali Pres: Jakarta, 2012).

Triwardana Mokoagow, FIlsafat Kenabian,
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Owner/My%20Documents/Downloads/Filsafat%20Kenabian%20_%20Flow%20~.htm (di akses pada 2
5 Juli 2022)



[1]Sayid Ali Khamene‟i, Mendaras Tauhid mengeja Kenabian (Jakarta: Al-huda, 2011),
hal 76.

[2]Lalu Agus Setiawan,Analisa Sufistik Mimpi Nubuwwah dalam proses Kenabian, dalam Jurnal Tasawuf dan pemikiran Islam, vol.I, No.I, Thn 2011, P.20

[3]Qasim Nur Sheha Dzulhadi,Al-Farabi dan Konsep Kenabian, dalam Jurnal Kalimah, vol.12, No.I. Thn 2014, P.130

[4]Abu Hasan al-Mawardi, al-ahkam al-Sultaniyyah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-“ilmiyyah, t.t.). P. 5

[5]Triwardana Mokoagow, FIlsafat Kenabian,
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Owner/My%20Documents/Downloads/Filsafat%20Kenabian%20_%20Flow%20~.htm (di akses pada 2
5 Juli 2022)

[6] Fachruddin, Ensiklopedia Alquran 2 (Jakarta, Rineka Cipta, 1992) cet 1, jil 2, hal 199

[7] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta:balai Pustaka, 1998), cet. 2, hal 605

[8] Sayyid Ali Khamene‟i, Mendaras Tauhid Mengeja Kenabian (Jakarta: Al-Huda, 2011), hal 137.

[9] Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Pedoman Ilmu Jaya:Jakarta, 1992), hal 139-140

[10]A. Mustofa, Filsafat Islam (Pustaka Setia: Jakarta, 2007)  , hal 214

[11]Fazlur Rahman, Kontroversi KenabianDalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi), (Mizan: Bandung, 2003), hal 51

[12]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam , (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1999), hal 60

[13]A. Mustofa, Filsafat Kenabian, hal 306.

[14]Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Pedoman Ilmu Jaya:Jakarta, 1992), hal 141.

[15] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hal 111- 112.

[16]A. Mustofa, Filsafat Islam, hal 138.

[17]Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Buat yang Pengen Tahu) (Erlanggga:Jakarta, 2006), hal 25.

[18]Sirajuddin zar, Filsafat (filosof dan filsafatnya) (Rajawali Pres: Jakarta, 2012), hal 123.

[19]Qasim Nur Sheha Dzulhadi,Al-Farabi dan Filsafat Kenabian........,P.132

[20] Abu Hasan al-Mawardi,  A'lam al-nubuwwah. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hilal 1409, P.41-42

[21] Hamid Fahmy Zarkasyi,world view islam, 2018,Ponorogo: Darussalam Press.,P.77-78

[22] Muhammad Abduh,Risalah Tauhid, 1965, Jakarta: PT. Bulan Bintang. P.103

[23] 34 Hamid Fahmy Zarkasyi,World View Isllam.......,P.78

[24] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid.........P.105

[25] Sirajjudin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: Grafindo Persada, 2014) . P. 82

[26]Fazlur Rahman,”Tema Pokok Al-Qur’an”..........,P.18

[27]Hamid Fahmy Zarkasyi, World View Islam”......,P.78-79

[28] Nashir Makarim Syirazi, Belajar Mudah tentang Allah SWT, Kenabian, keadilan Ilahi,kepemimpinan (Imamah), Kebangkitan di Akhirat (Lentera Basritama: Jakarta, 2004), hal 55-58.