BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
zaman Jahiliah, menurut Sayid Ali Khomaeni, manusia mengalami
kekurangan
material dan spiritual.[1]Kekurangan
material berdampak taraf kesejahteraan dan keamanan sosial
sangat rendah. Sedangkan kekurangan spiritual mengakibatkan
masyarakat kosong dari jalan hidup yang bersih dan cita-cita hidup yang bening.
Mengingat tugas Nabi diantaranya sebagai pemberi peringatan,
maka pada zaman Jahiliah Nabi diutus untuk memimpin dan membimbing
manusia menuju jalan lurus dan menghilangkan kejahatan di antara mereka.
Keterbasan
pengetahuan manusia juga salah satu alasan mengapa kita membutuhkan
Nabi. Meskipun manusia telah diberikan akal oleh Allah dan zaman sudah
semakin canggih dengan teknologinya, tetapi akal manusia tidaklah sanggup
mengetahui semua pengetahuan yang dimiliki Allah. Keterbatasan inilah yang mengakibatkan
perlunya pengutusan Nabi dari sisi pengajaran. Selain itu, manusia juga
memerlukan pemimpin dalam sisi pengajaran untuk mempelajari etika dan
akhlak. Karena faktor tersebut, Nabi dibutuhkan sebagai pempimpin baik pada
bidang moral, sosial, maupun politik.
Kenabian menjadi salah satu hal yang penting bagi ummat
manusia, setiap agama
memiliki ajaran yang berbeda masing-masing, maka dari itu, perlulah adanya
perantara untuk menyampaikan ajaran agama tersebut. Setiap agama samawi merupakan manifestasi visi Tuhan melalui
proses wahyu dan ilham
yang diberikan kepada Nabi maupun RasulNya. Seorang Nabi adalah manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan-Nya dan mengekspresikan
kehendak-Nya. Ia merupakan penghubung antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya.[2]
Bagaimanapun juga, tanpa kehadiran nabi sebagai pembawa ajaran agama, maka
manusia tidak akan mengetahui ajaran tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang
mengingkari keberadaan nabi, sehingga mereka meyakini bahwa hadirnya nabi tidak
diperlukan dengan beberapa alasan. Kritikan dari penentang ini bukan hanya ada
pada zaman sekarang, namun sejak Zaman Nabi Nuh. Di antaranya adalah,bagi
mereka yang tidak meyakini adanya tuhan,maka nabi pun tidak akan mereka yakini,
karena bagaimana bisa meyakini sedangkan tuhan tidak mereka yakini.
Selain itu ada yang mengatakan
bahwa Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan
akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui
Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.[3] Dengan demikian mereka memandang bahwa superioritas akal mengindikasikan ketidakbutuhan manusia
akan hadirnya nabi.
Beberapa ulama dan sarjana islam tidak dapat diam akan hal ini ,
mereka
mengeluarkan kemampuannya untuk menjawab para pengkritik kenabian,
diantaranya adalah al-Mawardi dan al-Farabi
mereka dikenal sebagai filsuf yang memiliki wawasan luas dalam politik, sehingga al-Mawardi mendefinisikan
kepemimpinan atau imamah sebagai satu
instuisi kekuasaan yang berfungsi sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia atau sosial.[4] Maka dengan begitu, al-Mawardi pun memandang bahwa nabi sangat penting, karena nabi adalah sosok
sentral bagi manusia sebagai panutan
hingga para penerusnya harus menjadikannya teladan demi menjaga kebaikan manusia itu sendiri. Maka dari itu pembahasan ini sangat penting agar kita dapat
mengerti secara jelas dan mendalam
bagaimana Konsep Kenabian tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan yang telah dijelaskan pada latar
belakang, pokok masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Pendapat tokoh tentang
filsafat kenabian?
2. Bagaimana pentingnya
keberadaan Nabi dan Rasul dan argumentasinya?
3. Bagaimana Penerapan konsep Nubuwwah dalam ekonomi Islam?
C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pemikiran
para tokoh mengenai filsafat kenabian.
2. Untuk mengetahui pentingnya
keberadaan Nabi dan Rasul.
3. Untuk mengetahui Penerapan konsep Nubuwwah dalam ekonomi islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Filsafat Kenabian
Al- Farabi, filsuf Muslim terbesar sebelum
Ibnu Sina, mengatakan, Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat juga adalah pandangan
hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai
kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam
dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Sehingga filsafat dapat juga dikatakan sebagai mother of science karena
mempelajari suatu hakikat dari pengetahuan.
Agama adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh
manusia, karena dengan agama,
manusia dapat mencapai kebahagiaannya yang dirasakan didalam hati. Maka agama diturunkan dari Allah kepada manusia melalui utusannya, maka
dari itu, keberadaan nabi dan rasul sangat dibutuhkan untuk
membawa ajaran yang menuntun kepada
kebenaran.
Kata Nabi berasal dari kata kerja (fi‟il) bahasa
Arab Nabba‟a yanabbi‟u yang berarti memberi kabar. Kata Nabi diderivasi dari kata nabiyyun
dalam bahasa Arab, yang berkedudukan sebagai kata benda
pelaku perbuatan (isim fa‟il) yang berarti orang yang membawa kabar atau berita. Kata Nabi yang
bermakna harfiah sebagai pembawa berita ini kemudian digunakan dalam
istilah agama sehingga Nabi berarti orang yang diutus Tuhan untuk
menyampaikan berita dan pelajaran
dari Tuhan untuk manusia.[5]
Menurut
bahasa, Nabi berarti orang yang diberi berita atau menerima. Namun
menurut istilah agama, Nabi ialah seseorang yang menerima wahyu dari Tuhan yang berkenaan dengan syari‟at agama dan
kalau dia disuruh menyampaikannya kepada orang banyak, maka dia menjabat Nabi
dan Rasul.[6] Sedangkan pengertian Nabi menurut kamus besar
bahasa Indonesia adalah orang yang
menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya untuk kepentingan dirinya dan ia tidak diwajibkan meneruskan
wahyu itu kepada orang lain.[7]
Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah bahwa seorang
Nabi semata-mata menerima risalah dari Allah, tetapi seorang
rasul selain menerima risalah tersebut memiliki
misi untuk menyebarkan kepada manusia.[8] Percaya kepada rasul merupakan salah satu diantara
rukun iman. Kepercayaan tersebut mendorong ummat untuk mengamalkan perintah yang diturunkan oleh
Allah kepada rasul-Nya, yang di sebut dengan wahyu-al-Qur’an.
B. Filsafat Kenabian
Namun dalam makalah
yang dibuat oleh Yolmarto Hidayat, ia menjabarkan pengertian Filsafat dan Nabi, kemudian ia menyimpulkan bahwa
filsafat kenabian merupakan
pemikiran atau pengetahuan yang membicarakan
tentang hakikat Nabi dan kedudukannya
dibandingkan dengan manusia lainnya, terutama filosof. Sedangkan menurut
penulis, dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka filsafat kenabian diartikan sebagai suatu
kajian tentang tema kenabian yang menguraikan
masalah kenabian dari urgensi kenabian itu sendiri, baik dalam hal
peran historis maupun tujuan adanya para Nabi,
karakter Nabi, mukjizat yang dimiliki para Nabi, serta hal lain yang berkaitan tentang
kenabian secara mendalam
dan bersifat universal.
Jika
dicermati lebih dalam pendapat para filosof tentang kenabian dapat dibedakan menjadi dua pendapat. Pertama,
pendapat yang menerima kenabian dan kedua, pendapat yang dipandang menolak
eksistensi kenabian-walaupun pendapat kedua ini juga dibantah oleh sebagian
pendapat yang lainnya.
Filosof muslim yang secara tegas
menerima eksistensi kenabian dengan berbagai penjelasan filosofis mereka antara
lain Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Ibnu Rusyd, Al-Thusi, Al-Ghazali,
dan Muhammad Abduh.
Menurut Al-Farabi
akal kesepuluh yang disebut akal fa‟al, dalam pandangan Islam
dinamakan malaikat. Para filosof dan para Nabi memperoleh pengetahuan dengan bersumber pada akal fa‟al. Namun bedanya, para filosof untuk
berhubungan dengan akal fa‟al melalui usaha dengan latihan dan
kotemplasi kemudian filosof mengadakan
komunikasi dengan akal mustafad. Sedangkan para Nabi, mengadakan kontak dengan akal fa‟al (malaikat) bukan dengan akal
namun dengan pengetahuan yang disebut Al-Mutakhayyilah atau imagination.
Karena para Nabi telah diberi imaginasi yang kuat, sehingga tanpa latihan
dapat berhubungan dengan akal fa‟al.[9]
Sedangkan
kenabian menurut Ibnu Sina, Nabi berada pada puncak keunggulan yang tertinggi dalam lingkungan pada
bentuk material. Karena yang unggul berdiri di atas yang rendah serta
menguasainya, maka Nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya dan
menguasainya. Bentuk material adalah adanya kekuatan pertama yang mampu menerima
gambaran tentang bentuk-bentuk universal yang diabstrakkan dari benda
dan yang ada pada dirinya tidak mempunyai bentuk. Kekuatan pertama itulah yang
dimaksud dalam bentuk material.
Sedangkan wahyu merupakan bentuk pancaran yang diterima oleh para Nabi dan yang turun pada mereka, seolah-olah ia
merupakan pancaran yang bersambung
dengan akal universal yang terinci bukan secara esensial melainkan secara kebetulan disebabkan kekhususan para
penerimanya.[10] kendati demikian, pemberian wahyu pada Nabi bukan sekedar
penerimaan irasional, melainkan memiliki tertib rasional sebab-akibat. Untuk
menunjukkan proses sebab-akibat tersebut, Ibnu Sina menjelaskan bahwa manusia
memiliki kekuatan intuisi yang berbeda. Ada manusia yang memiliki intuisi yang
lemah, dan ada manusia secara alami berbakat sehingga ia berintuisi terhadap
segala sesuatu dengan sekali bergerak. Dengan intuisi yang kuat tersebut,
akal aktif memancarkan segala bentuk pengetahuan, masa lampau, masa kini, dan
masa yang akan dating kedalam
jiwa Nabi, karena hanya Nabi yang mempunyai intuisi yang paling tinggi dibanding makhluk lainnya.[11]
Namun
menurut Ibnu Miskawaih, Nabi merupakan seorang muslim yang memperoleh hakikat atau kebenaran karena
pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat atau kebenaran seperti
ini diperoleh pula oleh para filosof. Perbedaannya
hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filosof memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yakni dari daya
indrawi naik ke daya khayal dan naik
lagi ke daya berfikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat atau
kebenaran dari akal aktif. Sementara Nabi mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari akal
aktif langsung kepada Nabi sebagai rahmat Allah. Jadi, sumber kebenaran yang
diperoleh Nabi dan filosof sama-sama dari akal aktif, pemikiran ini juga sejalan
dengan Al-Farabi.[12]
Lalu menurut Ibnu Rusyd, mukjizat yang dimiliki Nabi
seperti mengubah tongkat
menjadi ular, dapat membelah laut dan sebagainya hanya merupakan sesuatu yang digunakan untuk mengalahkan orang-orang yang
menentangnya. Alquran bukanlah mukjizat yang dimiliki Nabi Muhammad
melainkan wahyu Tuhan
dan sebagai firman yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Mukjizat dalam pandangan Ibnu Rusyd ada dua macam. Pertama, mukjizat
luaran (alkarammi) yaitu mukjizat yang sesuai dengan sifat para Nabi
seperti membelah lautan.
Mukjizat ini hanya menjadi tanda penguat tentang adanya kerasulan sebagai tanda jalan keimanan orang awam terhadap kenabian. Kedua,
mukjizat yang sesuai (al immasib) dengan sifat kenabian
tersebut maka peraturan yang dibawanya
untuk kebahagian manusia. Mukjizat ini merupakan tanda kerasulan yang sebenarnya, sekaligus sebagai jalan keimanan bagi para ulama
dan orang awam dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.[13] Menurutnya, mukjizat kedua inilah yang dijadikan pegangan dalam mengakui
kerasulan.
Filosof
lain, seperti al-Tusi juga mengemukakan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat
serta kebebasan idividu mengakibatkan
tercerai berainya kehidupan sosial, karena diperlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan
manusia. Tapi Tuhan sendiri berada di luar jangkauan indra, oleh karena itu Tuhan
mengutus para Nabi untuk menuntun umat. Peran para Nabi diutus Tuhan untuk
memimpin spiritual, dan menerapkan aturan suci dari Tuhan.
Filosof lainnya yang secara tegas mengakui eksistensi
dari urgensi kenabian adalah Al-Ghazali. Meskipun Al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut alFalasifah menentang teori kenabian dari Al-Farabi,
dengan mengatakan bahwa Nabi
dapat berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa melalui perantara malaikat atau tanpa akal fa‟al, namun dalam buku al-Munqidzu
minad-Dlalal al-Ghazali menulis
bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat, dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari tulisan tersebut
terlihat bahwa pemikiran al-Ghazali senada dengan Al-farabi mengenai
gejala kejiwaan. Bahwa melalui
tidur ketika bermimpi, bisa jadi dalam mimpi tersebut dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan jelas maupun dengan
perumpamaan.[14]
Selain itu, Muhammad Abduh dalam bukunya Al-Bashair
An-Nashiriyyah yang
menguraikan tentang kerasulan. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berbudaya (sosial) yang menurut tabiatnya memerlukan
pergaulan. Dalam pergaulan tersebut masing-masing individu
mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dilaksanakan. Namun, terkadang diantara mereka mencampur-adukkan hak dan kewajibannya, sehingga kekacauan tidak dapat dihindari.
Dengan demikian, maka masyarakat memerlukan petunjuk jalan untuk keluar dari kekacauan tersebut. Selain itu, masyarakat juga memerlukan
penerang yang dapat menerangkan
apa yang berguna dan bahaya bagi mereka, memisahkan antara yang baik dan buruk, mengajarkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk memperbaiki kehidupan mereka didunia dan akhirat, dan mengajarkan
apa yang hendak diberitahukan kepada mereka tentang urusan Zat-Nya dan
kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Figur tersebut ada pada para
Nabi dan Rasul. Butuhnya manusia terhadap Nabi, menurut M. Abduh seperti otak
yang ada pada manusia. Karena Nabi merupakan manusia pilihan Tuhan yang telah
diberi wahyu dan ilham, karena
jiwa mereka yang tinggi dan dapat menerima limpahan Tuhan serta rahasia-Nya.[15]
Selain beberapa filosof yang secara tegas menerima
eksistensi kenabian, juga
terdapat beberapa filosof yang dipandang menolak kenabian, mereka adalah Ibn Ar-Rawandi dan Ar-Razi. Ibn Ar–Rawandi dalam karyanya yang
berjudul Az Zamar
Ruddah, beliau mengkritik
ajaran-ajaran Islam pada ibadahnya, dan menolak mu‟jizat-mu‟jizat keseluruhan. Menurutnya Nabi dan Rasul
sebenarnya tidak diperlukan lagi, karena Tuhan telah memberikan
akal pada manusia, supaya manusia
dapat membedakan antara yang baik dan buruk, dan petunjuk akal semata-mata sudah mencukupi.
Selain itu, tokoh filsafat lainnya yang dipandang
menolak kenabian adalah Ar-Razi,
yang juga merupakan seorang dokter. Beliau menulis dua buku yaitu Mukhariq al anbiya‟ Au Hujal Al Mutanabbiin (mainan Nabi-Nabi atau tipu daya orang-orang yang mengaku Nabi), dan Naqli Al Adyan au fina
Nubuwwah (menentang
agama-agama atau tentang kenabian). Secara ringkas keduanya menyatakan bahwa Nabi tidak berhak mengaku dirinya sebagai
orang-orang yang mempunyai
kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani karena semua orang itu sama, dan dengan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya
mengharuskan tidak dibedakan
antara orang yang satu dan yang lainnya.[16]
Terkait dengan sikap Ar-Razi yang terlalu menghargai
akal, muncul asumsi negatif bahwa ia mengingkari eksistensi wahyu
dan kenabian. Tuduhan itu terdapat
dalam catatan Abu Hatim ar-Razi, yang merupakan tokoh Syi‟ah Imamiyah yang hidup semasa dengan ar-Razi tapi memusuhinya.[17] Dalam pandangan Amroeni Drajat, pandangan ini merupakan pandangan yang
tidak beralasan tentang Ar-Razi, yang dipandang sebagai filosof muslim
yang menerima kenabian. Bukti bahwa Ar-Razi mengakui wahyu dan kenabian
terdapat dalam karya Ar-Razi yang berjudul al-Thibb al-Ruhani terdapat
keterangan bahwa Ar-razi
memperoleh penghargaan terhadap akal dibarengi dengan penghargaan terhadap agama dan para Nabi sebagai manusia utama yang harus
diteladani. Ia menulis mengendalikan hawa nafsu adalah wajib dalam
pandangan rasio, orang berakal,
dan semua agama sehingga wajib bagi manusia yang baik, utama dan sempurna menunaikan apa yang diajarkan agama yang benar
padanya. Dalam karya lain yang berjudul Bar al-Sa‟ah dan Sirr
al-Asrar, ia menulis semoga Allah melimpahkan sholawat kepada ciptaannya
yang terbaik yakni Muhammad dan keluarganya. Tulisan tersebut menandakan bahwa ia benar-benar seorang filsuf Muslim.
Selain Amroeni Drajat, Sirajuddin Zar juga menjelaskan
bahwa dalam buku yang ditulis Ar-Razi yaitu al-Thibb al-Ruhani,
ia mewajibkan untuk menghormati
agama dan berpegang teguh kepada-Nya agar mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan keuntungan
berupa ridha Allah. Selain itu Ar-Razi juga menyebutkan bahwa
manusia yang utama dan yang melaksanakan
syariah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Karena syariah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta
bisa mencapai kenikmatan abadi.[18] Selain itu, dalam buku tersebut juga ditemukan bahwa Ar-Razi memberikan perhatian dan
kepercayaan yang cukup besar pada akal. Namun perhatian dan kepercayaannya
terhadap akal, tidak membuat Ar-Razi meletakkan wahyu dibawah akal, apalagi sampai
tidak percaya terhadap wahyu.
Sedangkan menurut Abdul Latif
Muhammad Al-„Abd seperti yang telah di kutip oleh Sirajuddin, tuduhan yang
ditujukan pada Ar-Razi bahwa ia tidak mempercayai kenabian, didasarkan pada
buku Makhariq al-Anbiya. Buku tersebut sering
dibaca dalam pengajian kaum Zindik terutama Qaramithah. Pada buku tersebut terdapat bagian dari buku A‟lam al-Nubuwwah karya
Abu Hatim Al-Razi yang
tidak pernah ditemukan.
C. Syarat Kenabian
Nabi bukanlah berasal dari orang
sembarangan melainkan nabi adalah orang yang
dipilih oleh Allah, karena sebelum menerima wahyu, seorang nabi telah dikenal
memiliki
akhlak mulia, suci dari dosa (al-zaka’), menjauhi perilaku tercela dan
kotor (al rijs).[19]Al-Mawardi
menawarkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang mengaku
bahwa ia adaah nabi dan rasul.
Pertama,
seseorang yang mengaku nabi harus memiliki sifat dan
kepribadian yang
menunjang kebenaran kenabiannya.
Kedua, seseorang yang mengaku nabi harus dapat memunculkan mukjizat.
Mukjizat sangat penting untuk membuktikan bahwa seseorang tersebut adalah nabi.
Ketiga, Sifat tidak akan muncul sebelum adanya sesuatu yang disifati,
seperti nabi
Isa yang dapat berbicara sejak dalam buaian.Oleh sebab itu dia dipercayai
sebagai
nabi.Namun ketika pengakuan sebagai nabi terlebih dahulu muncul sebelum
mukjizat,
maka seseorang tersebut harus tetap membuktikannya dengan mukjizat agar seluruh
orang
di sekitarnya mengakui kebenaran kenabiannya.[20]
Al-Mawardi menjelaskan bahwa mukjizat tidak akan muncul
kecuali untuk membuktikan kebenaran kenabian. Mukjizat hanya khusus
diperuntukkan kepada nabi dan rasul.
Karena, mukjizat termasuk dalam kategri hal-hal yang gaib dan hanya diketahui
oleh orang yang diberikan kepadanya mukjizat langsung dari Allah. Oleh
karena itu, mukjizat tidak
bisa dipelajari ataupun ditiru. Beliau menjelaskan pentingnya mukjizat ini karena mukjizat
merupakan bukti empiris tentang kenabian seseorang. Maka dari itu, seperti yang telah disebutkan sebelumny, al-Mawardi mengategorikan kenabian ini
sebagai ilmu iktisab yaitu
ilmu yang harus disertai dengannya bukti, dan mukjizat ini adalah bukti empiris tersebut.[21]
Mereka para Nabi selain mendapat mukjizat, mereka juga
mendapat keistimewaan
dengan wahyu yang diterimanya, dan terbukanya tabir rahasia ilmu bagi mereka. Dan mereka bersih dari cacat dan segala cela yang dapat menjadikan
penolakan bagi yang ingkar
untuk mengingkari pengakuan mereka sebagai Rasul. Mereka tidak berdusta, dan juga tidak lalai dalam menyampaikan akidah-akidah yang diwajibkan bagi
mereka untuk menyampaikannya.[22]
D. Alasan Keberadaan Nabi dan Rasul
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diutusnya
nabi dan rasul adalah untuk mengabarkan
berita dan pengettahuan dari Allah kepada manusia. Pengetahuan tersebut berisi hukum dan tuntunan yang berguna untuk menjaga manusia dari
kerusakan dan membawa mereka menuju kebahagiaan. Mereka yang memegang
agama dan melaksanakan ajarannya akan selamat dan menjadikannya pribadi yang baik serta bertakwa kepada Allah. Sehingga bisa dikatakan bahwa nabi dan
rasul tidak diutus, maka manusia akan kehilangan sosok pembawa berita tersebut
dan juga berarti mereka tidak akan mengetahui hukum dan tuntunan hidup mereka.[23]
Al-Afghani salah seorang yang
berpengaruh terhadap pemikiran Muhammad Abduh juga memberikan komentarnya
tentang kenabian, ia mengumpamakan masyarakat dengan badan, yang
anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, demikian pula
masyarakat. Roh masyarakat
ialah kenabian, nabi dalam masyarakat sama dengan kedudukan roh bagi badan. Ia juga menghubungkan kenabian dengan hikmah (filsafat),
dan letak perbedaannya ialah
bahwa kenabian anugerah dari Tuhan yang tidak bisa dicari, tetapi di khususkan
oleh Tuhan untuk hamba-hamba yang disukai-Nya, karena Tuhan lebih
mengetahui tempat Dia meletakkan
risalah-Nya, sedangkan filsafat bisa diperoleh dengan renungan
dan pemikiran. Selain itu, nabi adalah terjaga dari kekeliruan, sedang
filusuf bisa salah.[24]
Al-Farabi mengatakan diutusnya nabi adalah penting,
karena sebagai tauladan bagi
umat untuk berbuat sesuai dengan ketentuan agama yang telah di tentukan dalam
kitab Allah Swt. Tanpa adanya Nabi manusia kebanyakan akan susah
memahami ajaran agama karena
Nabi diciptakan Tuhan sudah dalam kedudukan yang sempurna tingkat akalnya sehingga bisa langsung sampai kepada akal kesepuluh (Jibril)
sebagai pengatur segala sesuatu
tanpa perlu adanya usaha terlebih dahulu. Sedangkan filosof akalnya harus senantiasa dilatih agar dapat sampai kepada tingkatan akan Fa’al,
sehingga mampu berhubungan langsung kepada akal sepuluh. Jadi semua
Nabi adalah filosof dan semua filosof
belum tentu adalah seorang Nabi.[25]
Fazlur Rahman mengatakan bahwa diutusnya Nabi adalah
penting karena Nabilah
pembawa risalah agama dan mengajarkanya kepada manusia lainya. Menurut Fazlur Rahman kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah. Karena Al-Qur’an
memandang kenabian ini
sebagai sebuah fenomena yang bersifat universal, disetiap pelosok pernah tampil seorang rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an. Rahman mencoba menjelaskan Kenabian ini
secara gampang sehingga pembahasan mengenai kenabian ini tidak lagi melangit
melainkan membumi, sehingga mampu dipahami oleh manusia secara lebih sederhana
dan mudah.[26]
Al-Mawardi menyatakan bahwa diutusnya nabi adalah bukti
kasih sayang Allah
kepada manusia untuk menghindarkan mereka dari kerusakan itu. Dengan demikian
posisi
nabi sangat penting dan berpengaruh sebagai pembawa berita penting. Mereka
adalah agen yang memberikan bimbingan dan pendidikan bagi manusia
sehingga manusia bisa berkembang
menjadi pribadi yang sempurna. Posisi nabi yang erat dengan kondisi social di mana nabi dan rasul itu diutus.[27]
Manusia belum cukup dengan panca inderanya mencapai
kebahagiaan. Manusia dianugerahi akal agar dapat membedakan hal yang
baik dan buruk, menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya untuk
dihindari atau ia tinggalkan, kabar yang benar memiliki posisi yang penting
untuk memberi tahu manusia pengetahuan tentng tuhan . Kabar terpercaya
berasal dari orang terpercaya . Orang yang terpercaya ini langsung membawa pesan dan pengetahuan yang ia dapatkan dari Allah. Sehingga bisa
dikatakan bahwa orang ini
sangat penting, karena tanpanya pengetahuan tentang Allah tidak bisa
didapatkan. Sosok tersebut adalah nabi dan rasul.
Beberapa
faktor yang membuat manusia membutuhkan para Nabi yang dikutip
dari berbagai referensi antara lain:
1.
Membebaskan Manusia dari Belenggu Perbudakan dan
Kezaliman
Diantara tujuan kenabian
adalah membebaskan manusia dari belenggu perbudakan
dan kezaliman para tiran yang tiada henti-hentinya menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Para Nabi, sepanjang sejarahnya memberikan penerangan di tengah-tengah
kegelapan untuk memerangi kerusakan, kesesatan, dan kegelapan. Para Nabi
berjalan di muka bumi untuk membebaskan ruh manusia dan meletakkannya di
jalan yang lurus yang mengantarkannya
pada sumber kebenaran.
2.
Keterbatasan Pengetahuan Manusia
Setiap
manusia yang dilahirkan tentu dilengkapi dengan akal. Namun akal yang dimiliki manusia tidak akan cukup
untuk memahami keagungan Allah.
Kemajuan teknologi yang semakin canggih di era modern dewasa ini, juga tidak akan sanggup membimbing umat untuk
menyelami pengetahuan Tuhan.
Hal ini disebabkan karena pengetahuan manusia tidak akan bisa dibandingkan dengan pengetahuan dan keesaan Tuhan. Oleh karenanya dibutuhkannya Nabi sebagai penuntun umat, untuk
memahami kebesaran Tuhan
sekaligus perantara antara Tuhan dengan hamba-Nya dan pembawa kabar gembira bagi umat-Nya yang taat pada-Nya.
Tujuan
utama penciptaan manusia adalah kesempurnaan dan pembinaan dalam segala bidang. Untuk itu
manusia membutuhkan pengajaran yang benar dan tepat agar terhindar dari
kekeliruan, dan bisa menyikapi realitas kehidupan secara benar. Terlebih lagi kehidupan di alam semesta tidak
terlepas dari hubungan interaksi
antar makhluk hidup, sehingga antar individu harus saling menghargai. Untuk menciptakan hubungan yang
harmonis, dibutuhkan suatu pola interaksi yang dinamis. Dalam kontak
inilah Nabi diutus, guna memberi pengajaran, dapat memimpin dan membimbing
manusia dalam bidang social dan moral.
3.
Keraguan dan Ketidakpastian
Hal lain yang menjadikan
manusia membutuhkan para Nabi serta mendorong
hilangnya kepercayaan terhadap hukum-hukum dan aturan manusia adalah keraguan alamiah yang senantiasa
menggelitik benaknya. Sebagai
contoh, dalam membuat hukum dan aturan, seseorang akan dipengaruhi oleh pengetahuan, keluasan wawasan,
dan kecerdasaanya. Keraguan
tersebut mengarah pada kemungkinan berbuat salahnya manusia dalam membuat suatu aturan sehingga akan
berdampak adanya orang lain yang kecewa atas hukum atau aturan tersebut.
Allah
mengutus para Nabi ke tengah-tengah umat dengan tujuan mempersiapkan manusia bagi perjalanannya menuju
evolusi hakikinya. Dalam setiap
perjalanannya itu dibutuhkan seorang pembimbing yang dapat menunjukkannya arah, jalan, dan tujuan yang
benar. Di antara berbagai kebutuhan yang muncul dalam kehidupan manusa,
kebutuhan terhadap seorang
pembimbing merupakan yang paling pokok, mengingat tanpa manusia akan menempuh jalan yang keliru dan
menyesatkan.
4. Nabi
sebagai Pembawa Hukum
Kehidupan
sosial tentu saja tidak dapat terhindar dari konflik. Konflik tersebut muncul ketika manusia atau masyarakat
mengalami kesulitan yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, baik karena adanya hak-hak dan kepentingan yang tidak terpenuhi sehingga
berdampak timbulnya tindakan agresif bahkan sampai pada peperangan.
Disinilah
perlu adanya hukum yang jelas untuk memecahkan konflik yang muncul dalam interaksi sosial. Selain
Tuhan dan orang-orang yang menerima wahyu Ilahi, tidak mungkin ada pemberi
hukum terbaik. Sehingga Tuhan
yang menciptakan manusia untuk mencapai kesempurnaan harus mengutus seseorang sebagai pemandu untuk
meletakkan hukum-hukum Ilahi bagi kepentingan manusia.[28]
E. Argumentasi Pentingnya Kenabian
Gambaran diatas sebenarnya telah
membuktikan kepada kita bahwa kenabian adalah hal yang penting bahkan niscaya.
Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah ini akan diuraikan secara
singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan diutusnya para
Nabi, yaitu sebagai berikut:
1. Argumentasi kebijaksanaan ( Hikmah). Kita ketehaui bahwa
Allah swt. Adalah maha bijaksana, karenanya dia tidak akan membiarkan manusia
tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum
bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti yang mengajarkan
hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin
berhubungan secara langsung di alam materi, maka ia akan mengutus seseorang
yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan
penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama).orang yang diutus tersebut dikenal
dengan Nabi atau Rasul.
2. Argumentasi Rahmat. Allah swt senantiasa Maha Pengasih
dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayangnya tersebut, dia tidak akan
membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk
mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukumnya manusia
dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna).
Karena itu dia akan mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing, inilah yang
dikenal dengan Rasul atau Nabi.
3. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan
bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan
hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan
akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah,
maka untuk meberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu allah
mengutus Nabi dan Rasul.
4. Argumentasi keadilan. Allah maha adil, artinya tidak
menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu
kezaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui
aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti
mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.
Argumentasi- argumentasi di atas menujukkan dengan jelas
akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan
argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat- ayat
al-qur’an yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk
membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan
kebahagiaan abadi. Sseandainya para nabi tidak diutus maka tujuan penciptaan
manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.
F.
Prinsip Nubuwwah dalam Ekonomi Islam
Karena sifat rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia
tidak dibiarkan begitu
saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk
kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu Allah. Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat
keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim, Allah telah mengirimkan
manusia model yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang
model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi
serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah (tanggung
jawab, dapat dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan,
kebijaksanaan, intelektualitas) dan tabligh (komunikasi keterbukaan
dan pemasaran).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, kita dapat
menyimpulkan bahwa keberadaan nabi sangatlah
penting bagi kehidupan manusia,
karena telah dijelaskan bahwa akal manusia lemah
serta memiliki batasan tertentu
maka perlu adanya nabi untuk menyamaikan pengetahuan dari Allah kepada
ummatnya, yang tidak dapat dicapai dengan akal manusia sendiri, karena adanya akal adalah untuk
membedakan hal yang baik dan benar maka dari itu, ajaran dari nabi
dan rasullah yang menuntun kita kepada jalan kebenaran. Penjelasan ini juga menjelasakan bahwa mukjizat tidak
dapat disamakan dengan sihir, karena mukjzat merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipelajari, dan ditirukan, beda halnya dengan sihir yang dapat dilakukan setelah
menguasainya maka mukjizat adalah salah satu tanda kenabian
yang pasti ada atas izin dari Allah untuk membuktikan kenabiannya.
Dengan jawaban yang lugas dan
logis dari al-Mawardi dengan filosof yang lain
memberikan kita penjelasan yang
luas tentang pentingnya kenabian dan mengingkari
faham yang mengatakan ketidakadaan
kenabian, dan penjelasan yang diberikan al-Mawardi sangat akademis dan masuk
akal dan tidak terlepas dari dasar al-Qur’an., dan dapat dijadikan alasan keberadaaannya sangat pentig.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah
masih banyak kesalahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu
diharapkan pembaca memberi kritik serta saran yang membangun agar dalam
pembuatan makalah lainnya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam (Pustaka Setia: Jakarta, 2007)
Abu Hasan al-Mawardi,
A'lam al-nubuwwah. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hilal 1409.
Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Buat yang Pengen
Tahu) (Erlanggga:Jakarta, 2006).
Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta:balai Pustaka, 1998).
Fachruddin, Ensiklopedia Alquran 2 (Jakarta,
Rineka Cipta, 1992) cet 1, jil 2, hal 199
Fazlur
Rahman, Kontroversi KenabianDalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi), (Mizan: Bandung,
2003)
Hamid Fahmy Zarkasyi,world view islam, 2018,Ponorogo: Darussalam Press.
Hamzah
Ya‟qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Pedoman Ilmu Jaya:Jakarta,
1992).
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam , (Gaya
Media Pratama: Jakarta, 1999).
Lalu
Agus Setiawan,Analisa Sufistik Mimpi Nubuwwah dalam proses Kenabian, dalam
Jurnal Tasawuf dan
pemikiran Islam, vol.I,
No.I, Thn 2011.
Nashir
Makarim Syirazi, Belajar Mudah tentang Allah SWT, Kenabian, keadilan Ilahi,kepemimpinan (Imamah), Kebangkitan di Akhirat (Lentera Basritama: Jakarta, 2004)
Qasim Nur Sheha Dzulhadi,Al-Farabi dan
Konsep Kenabian, dalam Jurnal Kalimah, vol.12, No.I. Thn 2014.
Sayyid Ali Khamene‟i, Mendaras Tauhid Mengeja
Kenabian (Jakarta: Al-Huda, 2011).
Sirajuddin zar, Filsafat (filosof dan filsafatnya) (Rajawali Pres: Jakarta, 2012).
Triwardana
Mokoagow, FIlsafat Kenabian,
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Owner/My%20Documents/Downloads/Filsafat%20Kenabian%20_%20Flow%20~.htm
(di akses pada 25 Juli 2022)
[1]Sayid
Ali Khamene‟i, Mendaras Tauhid mengeja Kenabian (Jakarta: Al-huda,
2011),
hal 76.
[2]Lalu
Agus Setiawan,Analisa Sufistik Mimpi Nubuwwah dalam proses Kenabian, dalam
Jurnal Tasawuf dan
pemikiran Islam, vol.I, No.I, Thn 2011, P.20
[3]Qasim
Nur Sheha Dzulhadi,Al-Farabi dan Konsep Kenabian, dalam Jurnal
Kalimah, vol.12, No.I. Thn 2014, P.130
[4]Abu
Hasan al-Mawardi, al-ahkam al-Sultaniyyah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub
al-“ilmiyyah, t.t.). P. 5
[5]Triwardana
Mokoagow, FIlsafat Kenabian,
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Owner/My%20Documents/Downloads/Filsafat%20Kenabian%20_%20Flow%20~.htm
(di akses pada 25 Juli 2022)
[6] Fachruddin, Ensiklopedia Alquran 2 (Jakarta, Rineka
Cipta, 1992) cet 1, jil 2, hal 199
[7] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia(Jakarta:balai Pustaka, 1998), cet. 2,
hal 605
[8] Sayyid Ali Khamene‟i, Mendaras Tauhid Mengeja Kenabian (Jakarta:
Al-Huda, 2011), hal 137.
[9] Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Pedoman
Ilmu Jaya:Jakarta, 1992), hal 139-140
[10]A.
Mustofa, Filsafat Islam (Pustaka
Setia: Jakarta, 2007) , hal 214
[11]Fazlur
Rahman, Kontroversi KenabianDalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi), (Mizan: Bandung, 2003), hal 51
[12]Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam , (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1999), hal
60
[13]A.
Mustofa, Filsafat Kenabian, hal 306.
[14]Hamzah
Ya‟qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Pedoman Ilmu Jaya:Jakarta, 1992), hal 141.
[15] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hal 111- 112.
[16]A.
Mustofa, Filsafat Islam, hal 138.
[17]Amroeni
Drajat, Filsafat Islam (Buat yang Pengen Tahu) (Erlanggga:Jakarta,
2006), hal 25.
[18]Sirajuddin
zar, Filsafat (filosof
dan filsafatnya) (Rajawali Pres: Jakarta, 2012), hal 123.
[19]Qasim
Nur Sheha Dzulhadi,Al-Farabi dan Filsafat Kenabian........,P.132
[20] Abu Hasan al-Mawardi,
A'lam al-nubuwwah. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hilal 1409, P.41-42
[21] Hamid Fahmy Zarkasyi,world view islam, 2018,Ponorogo: Darussalam
Press.,P.77-78
[22] Muhammad Abduh,Risalah Tauhid, 1965, Jakarta: PT. Bulan
Bintang. P.103
[23]
34 Hamid Fahmy Zarkasyi,World View
Isllam.......,P.78
[24]
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid.........P.105
[25]
Sirajjudin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya. (Jakarta: Grafindo Persada, 2014) . P. 82
[26]Fazlur Rahman,”Tema Pokok Al-Qur’an”..........,P.18
[27]Hamid Fahmy Zarkasyi, World View
Islam”......,P.78-79
[28]
Nashir Makarim
Syirazi, Belajar Mudah tentang Allah SWT, Kenabian, keadilan Ilahi,kepemimpinan
(Imamah), Kebangkitan di Akhirat (Lentera Basritama: Jakarta, 2004), hal 55-58.