BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perbedaan adalah salah satu yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Ia merupakan sunnatullah
yang berlaku sepanjang masa. Termasuk yang tidak bisa dielakkan adalah
perbedaan pendapat sekalipun dalam masalah pemahaman atau penafsiran
hukum-hukum agama. Karena perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan, maka
hal tersebut tidak perlu disesalkan dan
menjadi sebab kita berpeca belah dan bercerai-berai. Perbedaan harus
‘disyukuri’ dan merupakan rahmat bagi umat islam. Perbedaan juga terjadi
dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita
ketahui hukum tidaklah selalu dalam hal
penerapannya pada masa awal Islam. Pada masa itu Nabi
Muhammad sebagai tolak ukur dan akhir dari setiap permasalahan yang ada
pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para
sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau
madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.
Perbedaan itu tentu bukan semata-mata karena
sesuatu yang tidak jelas atau sekedar ingin mempertahankan pendapat
masing-pasing saja. Akan tetapi memiliki alasan tersendiri dan tentunya tetap
sejalan dengan ajaran Islam. Untuk itu penulis tertarik membahas masalah apa
yang menyebabkan terjadinya perbedaan dikalangan para ulama dalam menentukan
hukum yang berlaku dari setiap permaslaahan yang timbul dengan judul “Asbab
Al- Ikhtilaf”. Agar penulis dan pembaca mengetahui penyebab terjadinya
perbedaan yang timbul dikalangan ulama. Dan mudah menerima perbedaan yang ada.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa yang
dimaksud dengan asbab al-ikhtilaf?
1.2.2
Apa saja yang
termasuk sebagai tempat terjadinya al-ikhtilaf?
1.2.3
Bagaimana al-ikhtilaf
dalam penafsiran al-qur’an?
1.2.4
Apa yang
menyebabkan terjadinya al-ikhtilaf?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk
mengetahui definisi dari asbab al-ikhtilaf.
1.3.2
Untuk mengetahui tempat terjadinya al-ikhtilaf.
1.3.3
Untuk
mengetahui al-ikhtilaf dalam penafsiran al-qur’an.
1.3.4
Untuk
mengetahui sebab terjadinya al-ikhtilaf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Asbab Al-Ikhtilaf
(Sebab-Sebab Perbedaan )
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf
berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan(خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada
al-dhiddu (الضد), sebab setiap hal yang
berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ).
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat
antara dua atau beberapa orang terhadap suatau obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk
tidak sama ataupun bertentangan secara deamitral. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian
(ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam
pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam
(fukaha) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah
(perbedaan), bukan pada masalah hukum islam yang bersifat
ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau
perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya
perbedaan pendapat fukaha tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh
perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan
lain-lain.
2.2
Tempat Terjadinya Al- Ikhtilaf
Karena sumber-sumber Islam pada
masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-Qur’an, al sunnah, dan ijtihad
sahabat, termasuk qiyas, ra’yu, dan ijma’ sahabat, dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum
Islam Abbas Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu:
2.2.1
Al-Qur’an, penyebabnya adalah sebagai berikut :
2.2.1.1
Adanya kontradisi
antara sesama nash-nash al-qur’an dan adanya upaya mereka untuk mencegah
perentangan itu.
2.2.1.2
Perbedaan
dalam memahami ayat-ayat global.
2.2.1.3
Sebagian
sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang
bermaksud kontekstual.
2.2.1.4
Sahabat
berhenti pada zahirnya nash-nash umum
dan tidak menemukan atau menganggap nash lain sebagainya pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain
menemukannya.
2.2.1.5
Perbedaan
pendapat dalam memahami suatu
struktur kalimat dalam
nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek
pengertian.
2.2.2
Al-Sunnah, seperti diungkapkan oleh waliyullah al-Dahlawi.
2.2.2.1
Sampainya
suatu hadis (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan
berijtihad dengan ra’yunya.
2.2.2.2
Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka
menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang
lain hanya mubah.
2.2.2.3
Karena
lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
2.2.2.4
Perbedaan
persepsi antara antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW
(Sunnah Qauliyah).
2.2.2.5
Perbedaan dalam
menentukan ‘illat hukum suatu sunnah.
2.2.2.6
Perbedaan pemahaman
dalam menyikapi beberapa sunah yang saling kontradiksi.
2.2.3
Ijtihad
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu ini tidak biasa dilepaskan dari perbedaan yang ada di antara mereka berbagai hal termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan
lingkungannya.
Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :
2.2.3.1 Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan ayat-ayat
yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan merupakan tempat terjadinya masalah khilafiyah.
2.2.3.2 Hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu,
ada yang zhanni, baik zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya
dengan Nabi) maupun zhanni ad-dalalah (petunjuknya masih bersifat
dugaan).
2.2.3.3 Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.
Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan
fatwa, namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan
tetapi jika mereka salah, akan mendapatkan satu pahala.
Tentu saja ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang berkompeten dan capable
untuk itu.
2.3
Al- Ikhtilaf Dalam Penafsiran Al-Qur’an
DR.
Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai
“ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat
atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala
dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang
tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Definisi
ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan
al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan
tetapi, sebagaimana akan diuraikan kemudian dari sisi lain, ikhtilaf sendiri
kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
2.3.1
Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang
bersifat variatif).
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah :
2.3.1.1
sebuah kondisi dimana memungkinkan
penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya
memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih, atau
2.3.1.2
makna-makna yang berbeda itu
sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda,
atau
2.3.1.3
terkadang makna-makna itu berbeda
namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilaf tanawwu seperti beberapa penafsiran Mufassir
mengenai tafsir ashirotol mustaqim dalam surah Al-Fatihah. Keika kita mencoba
menengok Tafsir Al-Khozin kita kan temui bahwa beliau Syaikh Alauddin
menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik), kemudian beliau
juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan Shirotol Mustaqim
dengan agama islam. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi, beliau menjadikan
kitab allah sebagai makna penafsiran dari shirotol Mustaqim, juga
kemudian mengutip penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju
syurga. Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak
saling menafikan satu sama lain karena Al-qur’an merupakan sumber petunjuk bagi
orang islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan
dunia akhirat dan masuk syurga dihari kemudian.
2.3.2
Ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang
bersifat kontradiktif).
Sedangkan
ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu sama lain,
dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan,
maka yang lain harus ditinggalkan.
Sebagai
contoh adalah ikhtilaf antara
Imam Asy-Syafi’I dengan Imam Ahmad yang terdapat dalam surah An-nisa ayat 43:
Terjemahanya:
Adapun jika kamu sakit atau sedang
dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
debu yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya allah maha
pema’af lagi maha pengampun.
Lafaz
أَولَمَسْتُمُ
النِّسَاءَ, menurut Imam Asy-syafi’I menyentuh
disitu dalah makna hakiki karena tidak ada illat atau sebab dan qarinahi
atau petunjuk yang mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majaz. Karenanya menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya
menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat Majazy berdasarkan pada surah
Al-Baqarah ayat 237:
Terjemahanya:
Dan jika kamu
menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menetukan
maharnya maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan kecuali jika
mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di
tangannya…
Karena menurutnya menyentuh perempuan tidak
membatalkan wudhu walaupun berdosa jika bukan mahramnya karena hukum keduanya
memang berbeda.
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan
terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam
2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash (tafsir bil Ma’tsur), dan
ikhtilaf yang didasari oleh selain nash (tafsir bil ra’yi). Dengan kata lain,
penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan
berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi.
2.3.1
Ikhtilaf dalam
Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang
menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash
atau riwayat yang tidak sepakat dalam mengukapkan penjelasan terhadap suatu
ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan misalnya beberapa penjelasan tentang suatu
ayat yang sama yang secara sekilas nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah
menyimpulkan bahwa ikhtilaf dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab berikut:
2.3.1.1 ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan
penjelasan yang berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh
yang dimaksud.
Contoh paling sederhana misalnya adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum
al-Qiyamah). Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya
yang lain, tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal
kata “Yaum al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan
“Yaum al-Taghabun” (Hari saling menuntut). Dimana
setiap kata ini memiliki makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup
dalam “Yaum al-Qiyamah”.
Dengan melihat
penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kategori ini dapat
dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak saling kontradiktif, dan
bukan ikhtilaf tadhadh.
2.3.1.2 al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat
umum, lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu
bagiannya yang khusus saja. Seperti dalam surah faathir ayat 32 :
Terjemahnnya:
Kemudian kitab
itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba kami,
lalu diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan,
dan ada (pula) yang lebih dahulu membuat kebaikan dengan izin allah swt. Yang
demikian itu adalah karunia yang besar.
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori
hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi),
(2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam
kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana
para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan
menemukan perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang
membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang
membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan
adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada yang
menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga
kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan
waktu namun ketinggalan jamaah, sementara yang berkompetisi adalah yang selalu
menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi
adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan
adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim
adalah yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain
seputar ini.
2.3.2
Ikhtilaf dalam
Tafsir bil-Ra’yi
Landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah
hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap
mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini
disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
2.3.2.1 meyakini makna tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an,
lalu kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini
sebelumnya itu.
Salah satu contoh paling jelas
misalnya apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat menafsirkan surah Yusuf ayat 4:
Terjemahannya:
(Ingatlah),
ketika yusuf berkata kepada ayahnya,” wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi)
meliht sebuah bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud
dengan ‘Yusuf’ tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn
Abi Thalib...dimana Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika,
‘Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan
yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang
adalah para imam..”
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya
berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa
mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada
Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.
Dengan kata lain, para penempuh metode ini
hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam
menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang
mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini
(dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru,
sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa
Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para
ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran
ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan
asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an.
Metode
ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Kisah ini setidaknya menunjukkan
2 hal penting:
2.3.2.1.1
Bahwa bahasa menjadi rujukan awal
para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi
al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2.3.2.1.2
Bahwa ketika
“bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran secara naqly
(al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah yang kemudian
menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa
pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini
termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah
dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.
2.4
Pokok-Pokok
Sebab Terjadi Al-Ikhtilaf
Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi
sejak masa sahabat, ikhtilaf itu terjadi karena perbedaan paham diantara mereka
dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka. Hal ini terjadi karena
pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan
pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negeri
yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.
Sampai
saat ini fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam
masalah furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam
memahami nash dan mengistinbahtkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan
itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang
memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang
cenderung berpegang pada dzahir nash, antara yang mewajibkan bermazhab dan yang
melarangnya. Perbedaan pendapat dikalangan ummat ini, sampai kapanpun
dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan hal iini menunjukkan
kedinamisan hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
Di
antara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama (Mujtahidin)
adalah sebagai berikut:
2.4.1 Sebab-Sebab Eksternal
2.4.1.1 Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana telah disebutkan diatas,
bahewa para sahabat telah berpencar-pencar keberbagai penjuru negeri yang
banyak mengetahui tentang hadis nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat nabi dapat djumpai,
tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya,
karena pergaulannya dengan rasullullah ikut menentukan banyak sedikitnya hadis
yang diterima.
2.4.1.2 Diantara ulama dan ummat islam, ada yang kurang
memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu
berlaku umum atau untuk orang tertentu saja. Apakah perintah itu untuk
selama-lamnya atau hanya bersifat sementara.
2.4.1.3 Diantara ulama dan ummat islam kurang memperhatikan dan
mempelajari, bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh
orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang dan
kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
2.4.1.4 Diantara ulama dan ummat islam banyak yang terpengaruh
oleh pendapat yang dterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya
dengan ucapan “telah terjadi ijmak”, pada masalah-masalah yang tidak pernah
terjadi ijmak.
2.4.1.5 Diantara ulama ada yang berpandangan yang terlalu
berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunnatkan, sehingga orang awam
menganggapnya suatu amaliyah yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan.
2.4.1.6 Para sahabat yang tinggal terpencar-pencar diseluuh
pelosok negeri, ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai
atau lupa, sedangkan yang mengigatkan diantara sahabat-sahabat itu tidak ada.
2.4.1.7 Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga
menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum islam.
2.4.2 Sebab-Sebab Internal
2.4.2.1 Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari rasullullah itu
melewati banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang
satu dengan yang lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang yang mantap
hatinya mempercayai perawinya maka hadis tersebut dijadikan landasan penetapan.
Begitu juga sebaliknya bagi orang yang tidak mempercayai perawinya akan
menyampingkan hadis tersebut.
2.4.2.2 Perbedaan penggunaan sumber hukum
Para ulama
dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu dengan yang lain. Hal ini
disebabkan tidak sama dalam penggunaan sumbernya. umpamanya:
2.4.2.2.1
Dalam masalah
hadis
Kedudukan
hadis sebagai sumber hukum tidak diperselisihkan oleh para mujtahid (fukaha).
Akan tetapi yang mereka perselisihkan adalah dari segi sampa atau idaknya suatu
hadis, percaya atau tidak terhadap seorang perawi, sahih atau tidak suatu
hadis.
2.4.2.2.2
Dalam masalah
Ijmak
Sebagai contoh
dalam masalah ijmak yaitu dalam hal menjatuhkan talak 3 sekaligus. Jumhur Fuqaha
mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus jatuh tiga juga dengan alasan telah
ijmak pada masa khalifah Umar, sedangkan ulama yang mengatakan, bahwa talak
tiga sekaligus, hanya jatuh satu dengan alasan, telah ijmak pada masa Nabi dan
Abu Bakar.
2.4.2.2.3
Istihsan
Imam Hanafi
mempergunakan Istihsan dalam menetapkan sebagian hukum, sedang Imam Syafi’i
tidak memakainya. Sebagai contoh: menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh membaca
al-qur’an bagi orang sedang haid, karena orang yang haid itu sama dengan orang
junub. Sedang menurut Imam Hanafi dibolehkan membacanya.
2.4.2.2.4
Maslahah
Mursalah
Penetapan
hukum dengan Maslahah Mursalah adalah melihat kepentingan umum, walaupun
kelihatannya menyimpan dari ketentuan yang biasa berlaku.
Sebagai
contoh: menjatuhkan hukuman mati atas suatu kaum atau kelompok manusia yang
membunuh satu orang, bisa bisa dijatuhi hukuman mati menurut Fuqaha Hanafiah,
Malik dan Syafi’i untuk menghindari usaha jahat dari kelompok tertentu yang
ingin melakukan pembunuhan dengan cara sengaja.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali, tidak boleh dijatuhi
hukuman mati, karena tidak sepadan.
2.4.2.2.5
Urf
Urf biasanya
diarikan dengan kebiasaan, apakah kebiasaan itu baik atau buruk. Sebenarnya
penggunaan urf berkaitan erat dengan maslahah mursalah, hanya saja hukum-hukum
yang diterangkan dapat berubah-ubah enurut suatu daerah.
2.4.2.3 Perbedaan pemahaman
2.5
Hikmah Adanya Al-Ikhtilaf
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan
memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu :
2.5.1
Niatnya jujur dan
menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari
sekian banyak model dalil.
2.5.2
Ikhtilaf itu digunakan
untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
2.5.3
Memberikan kesempatan
berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan
bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
2.5.4
Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
2.5.5
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al
Ansharirahimahullah berkata
: ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan
sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah
tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka
tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139
dan Jami’
Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
2.5.6
Al-Imam Yunus bin Abdul
A’la Ash-Shadafirahimahullah (salah seorang
murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : “Aku tidak
mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu
hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah.
Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : “ Hai
Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak
sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah)
(Siyaru
A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
2.5.7
Ulama salaf (salah satunya
adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata, “Pendapatku,
menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain,
menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
2.5.8
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyahrahimahullah berkata
: “Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu
masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun
ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)
2.5.9
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,
“Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku
tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil
salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di tarik dari
pembahasan ini antara lain sebagai berikut :
3.1.1 Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat dianatara para ahli hukum (fuqaha)
dalam menetukan hukum dari p[ermasalahan yang ada dengan menggunakan metode
yang berbeda.
3.1.2 Adapun beberapa tempat-tempat yang
memungkinkan terjadinyan ikhtilaf diantaranya ayat-ayat al-Qur’an yang
masih belum jelas petunjuknya atau zanni ad-dalalah, hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu,
ada yang zhanni wurud dan zanni ad-dalalah, peristiwa-peristiwa yang
belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
3.1.3 Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
sebab-sebab terjadinya ikhtilaf yaitu perbedaan para ulama mengenai
pemahamanya tentang lafadz nash, perbedaan dalam menginterpretasikan teks dalil
syar’i yang masih umum yaitu masih bersifat dzonni, Perbedaan pendapat
dibeberapa kaidah ushul fiqh, dan juga Perbedaan pendapat yang dilatar
belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi serta kondisi.
3.2
Saran
Dengan makalah yang
kami buat ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari pembaca sangat kami butuhkan, guna perbaikan makalah kami berikutnya. Dan
semoga makalah ini berguna untuk kita semua. Amin
DAFTAR
PUSTAKA