BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara
garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’
paraktis dari nash yang ada, baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi
maknanya, baik yang jelas maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak
bisa di artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak
perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini
akan di bahas mengenai lafadz-lafadz dari segi ketidakjelasan makna (Khafi,
Musykil, Mujmal dan Mutasyabih) dan contohnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa
yang dimaksud dengan lafadz dari segi ketidakjelasan Makna?
1.2.2
Jelaskan bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan
makna dan contohnya?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian lafadz dari segi
ketidakjelasan makna.
1.3.2
Untuk mengetahui bagian-bagian lafadz dari
segi ketidakjelasan makna dan contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lafazh dari Segi Ketidakjelasan Makna
Lafadz yang tidak terang
artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz itu
sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami
maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk
ini disebut juga lafadz mubham.[1]
Nash
yang kurang jelas dalalahnya ialah nash yang
dalalahnya baru ditemui melalui petunjuk dari luar nash itu.
Kalau hal yang menyebabkan kurang jelas itu dapat dihapuskan sesudah
mengerahkan daya pikiran dan kesungguhan, maka dinamakan al-khafi atau musykil.
Kalau hanya dapat dihilangkan melalui penjelasan dari pembuat peraturan itu
sendiri dinamakan al-mujmal
dan kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali dinamakan al-mutasyabih.[2]
2.2 Al-Khafi
2.2.1.
Pengertian Al-Khafi
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau
tersembunyi. Sedangkan Menurut
istilah, seperti yang dikemukakan oleh Adib Salih adalah suatu lafal zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafal
tersebut menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga
untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang
mendalam.[3]
Khafi dalam istilah
ushul, yaitu lafazh yang menunjukkan terhadap maknanya dengan dalalah yang
nyata. Akan tetapi dalam penerapan maknanya pada sebagian satuan-satuannya
terdapat semacam kesamaran dan ketersembunyian yang untuk menghilangkan
diperlukan analiasis dan pemikiran. Lafazh tersebut dianggap khafi (samar, tersembunyi) dalam
konteksnya dengan sebagian satuan-satuan ini.
Sebab munculnya kesamaran ini
ialah bahwasanya satuan tertentu di dalamnya ada suatu sifat yang melebihi
terhadap satuan-satuan lainnya atau satu sifat berkurang dari satuan itu atau
ia mempunyai suatu nama khusus. Tambahan atau kekurangan atau penamaan khusus
ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan. Oleh karena itu, maka lafazh
tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan satuan ini, karena pencakupannya
terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafazh itu sendiri, bahkan ia
haruslah dengan suatu hal yang khariji(eksternal). Untuk
menghilangkan ketidakjelasan makna lafal, maka perlu pencermatan dan
peninjauan. Atau dengan kata lain, untuk memahami makna khafi perlu
ijtihad ulama.[4]
2.2.2. Contoh Lafazh Khafi
Contohnya lafal السَّارِقُ yang berarti pencuri dalam ayat:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù ………$yJßgtÏ÷r& ÇÌÑÈ
Adapun
orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…(QS.AL-Maidah:38)
Lafal السَّارِقُ (pencuri) berarti
orang yang mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya dengan
sembunyi-sembunyi. Akan tetapi arti ini menjadi tidak jelas, jika diterapkan
pada satuannya yang mempunyai nama tersendiri. Misalnya Nubasy, yakni seseorang
yang mengambil kain kafan mayat dari dalam kubur. Apakah termasuk dalam lafal السَّارِقُ (pencuri) atau tidak?
Dalam hal ini ulama berbeda
pendapat.
2.2.2.1
Ulama Hanafiyah menyatakan Nubasy tidak
termasuk dalam arti السَّارِقُ (pencuri), sehingga
tidak dikenakan hukuman potong tangan sebab (1) benda yang diambil tidak
termasuk benda yang disukai, (2) benda yang diambil tidak terdapat ditempat
penyimpanan, dan (3) benda yang diambil tidak ada pemiliknya, bukan milik mayat
dan bukan milik ahli warisnya.
2.2.2.1
Imam syafi’i, Imam
Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf, menyatakan bahwa Nubasy termasuk kedalam
arti lafal السَّارِقُ (pencuri), oleh karena
itu ia dikenakan hukuman potong tangan kepada yang mengambilnya, dengan alasan
(1) bahwa pengambilan benda itu dilakukan disaat sepi, (2) bahwa tempat
penyimpanan benda adalah sangat disesuaikan dengan bendanya dan tidak ada
tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali dalam kubur.
Contoh yang lain adalah hadis nabi yang
berbunyi:
اَلْقَاتِلُلُ لاَيَرِثُ
Pembunuh itu tidak berhak menerima warisan
dari yang di bunuhnya.
Lafal اَلْقَاتِلُلُ (pembunuh) dalam hadis
diatas cukup jelas artinya dan tidak diragukan untuk menerapkan hukum terhalang
dari hak warisan orang yang membunuh secara sengaja dan terencana. Akan tetapi,
apakah lafal اَلْقَاتِلُلُ (pembunuh) dan hukum
halangan warisan itu dapat diberlakukan pula terhadap ”pembunuhan
tersalah”(tidak sengaja), “pembunuhan bersebab”, “pembunuhan bersama”
(dilakukan secara bersama oleh lebih dari dua orang). Hal ini menjadi objek ijhtihad
para ulama mujtahid.[5]
Contoh macam ini dalam
undang-undang syara’ dan hukum positif banyak sekali. Diantara yang paling
jelas adalah sebagai tindakan kriminal yang mengandung keserupaan mengenai
apakah ia pidana atau pelanggaran biasa.
Cara untuk menghilangkan
kesamaran ini ialah pembahasan dan pemikiran oleh seorang mujtahid. Jika ia
berpendapat lafazh tersebut mencakup satuan tersebut, kendatipun dengan maka ia menetapkannya termasuk dari yang
ditunjuki oleh lafazh itu, lalu ia mengambil hukumnya. Acuan mereka dalam ijtihad
untuk menghilangkan kesamaran ini ialah illat hukum dan hikmanya, nash-nash
yang berkenaan dengan hal ini.[6]
2.3 Al-Musykil
2.3.1
Pengertian Al-Musykil
Lafaz musykil ialah suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh
lafaz itu sendiri.
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang
tidak jelas perbedaannya. Sedangkan menurut istilah musykil adalah suatu lafal yang tidak jelas
maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya
diperlukan ada indikator tertentu untuk dapat menjelaskan kerumitan itu, dengan
jalan pembahasan dan pemikiran yang mendalam.[7]
Kemusykilan lafadz itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
2.3.1.1 Karena lafaz itu musytarak , yaitu diciptakan untuk beberapa arti
sedang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.
2.3.1.2 Adanya dua lafaz yang saling berlawanan. Artinya, kedua nash jelas
dalalahnya tetapi, kemuskilannya terletak dalam men-taufiq-kan
(mengompromikan) antara kedua nash yang saling berlawanan.[8]
2.3.2
Contoh Lafazh Musykil
Contohnya firman allah swt.:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4........
ÇËËÑÈ
Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri dari
mereka menunggu tiga kali quru’.....(QS.Al-Baqarah:228).
Lafal tersebut secara bahasa memiliki dua arti, yaitu
makna suci (اَلْأَطْهَارُ) dan haid (اَلْحَيْضَاتُ). Apakah iddah wanita
yang ditalak suaminya, berakhir dengan tiga kali haid atau dengan tiga kali
suci.
Imam Syafi’I
dan sebagian Mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud lafal al-quru’
dalam ayat diatas adalah suci. Qarinah-nya adalah pen-ta’ nits-an isim adad
(nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasanya yang dihitung adalah mudzakkar
(laki-laki), yaitu suci bukan haid.
Ulama Hanafiyah dan sekelompok mujtahid lainnya
berpendapat bahwa lafal al-quru pada ayat diatas adalah haid. Qarinah-nya,
sebagai berikut:
2.3.2.1
Hikmah
pen-tasyri-an iddah. Hikmah dalam kewajiban idddah atas wanita
yang ditalak adalah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan, sedangkan
yang memberitahukan hal ini adalah haid bukan suci.
2.3.2.2
Firman allah
swt.: QS.Ath-Thalaq : 4
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts ....4
Artinya:”perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(menopause)di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya)
maka iddahnya mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan
yang tidak haid…. (QS. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat diatas, sebab dihitungnya tiga bulan
masa iddah karena tiadanya haid wanita yang ditalak. Oleh karena itu, dapat
ditetapkan bahwa pada dasarnya masa iddah dihitung dengan haid.
2.3.2.3
Sabda
Rasullullah saw.
طَلاَقُ
الْاَمَةِ ثِنْتَانِ وَعِدَّتُهَاحَيْضَتَانِ
Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haid.
Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haid merupakan
penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafal al-quru’u dalam iddah
perempuan yang merdeka. Adapun pen-takhsish-an nama hitungan, ia
dimaksudkan untuk ke mudzakkar lafal yang dihitungnya, yaitu lafal al-quru’.[9]
2.4 Al-Mujmal
2.4.1
Pengertian Al-Mujmal
Mujmal adalah: Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat garis besar.
Secara bahasa Mujmal berarti samar.
Secara istilah, para ahli ushul fiqhi mendefinisikan mujmal dalam berbagai
macam. Imam Sarakhasi mendefinisikan mujmal sebagai suatu lafal yang
tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang menegeluarkan lafal mujmal itu
dan melalui penjelasannnya diketahui makasud lafal tersebut.
Wahbah
al-zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafal yang sulit dipahami
maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan).
Jalaluddun
Abd.Rahman mendefinisikan mujmal sebagai lafal yang dalalahnya
tidak jelas.[10]
Dari beberapa
definisi diatas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang dikutif oleh
syar’i dari makna kebahasaanya dan ditetapkan untuk berbagai makna terminologis
yang bersifat syar’i secara khusus seperti lafazh sholat, zakat, puasa, dsb.
Bukan makna secara kebahasaan.[11]
2.4.2
Contoh Lafazh Mujmal
Lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’,
seperti lafaz shalat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz shalat
menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu
perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang
menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri
karena ditemui sunnah qauliyah dan sunnah fi’liyah yang
menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’.
Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh
nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam firman Allah
swt. surah Al-Qari’ah ayat 1-4:
èptãÍ$s)ø9$# ÇÊÈ $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇËÈ !$tBur y71u÷r& $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇÌÈ tPöqt ãbqä3t â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ
“Hari
kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu? Pada hari
itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah
seperti bulu yang dihambur-hamburkan”.(QS. Al-Qori’ah: 1-4).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa suatu lafal dapat menjadi mujmal
karena : maknanya musytarak, dipalingkan dari makna bahasa pada makna syara, dan
lafal itu jarang dipergunakan.[12]
Contoh
lain adalah lafal o4qn=¢Á9$#
dalam ayat:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇÍÌÈ
“Dan laksanakanlah shalat….(QS.Al-Baqarah:43)
Apabila
terhadap lafal mujmal itu mendapat penjelasan dari syara’ secara
sempurna maka mujmal menjadi mufassar. Ayat diatas dijelaskan
melalui hadis Nabi Muhammad saw. Baik dengan perkataan maupun perbuatan yang
menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan caranya.
Rasullullah
saw.bersabda:
صَلُّوْ ا كَمَارَاَ يْتُمُونِى اُصَلِّىْ
Salatlah
seperti kamu lihat aku melakukan shalat.(HR.Bukhari)
Apabila lafal mujmal mendapat penjelasan dari syara’
tetapi tidak secara sempurna dan pasti maka masih perlu ijtihad untuk
menjelaskannya. Jika demikian yang terjadi, mujmal menjadi musykil,
sehingga untuk mujmal yang semacam ini diberlakukan ketentuan pada musykil.
2.5 Al- Mutasyabih
2.5.1
Pengertian
Al-Mutasyabih
Lafadz mutasyabih secara
bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa
persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara
yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.[13]
Lafadz mutasyabih menurut ulama ushul fiqih
adalah lafaz yang sighatnya tidak menunjukkan maksudny dengan sendirirnya, dan
tidak ditemukan qarinah eksternal yang menerangkannya, dan syar’I memonopoli
pengertiannya tanpa menafsirkannya.
Mutasyabih
hanyalah ditemukan pada tempat-tempat lain daripada nash, seperti
potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surah al-qur’an: Alif Lam Mim,
Qaf, Shad, Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang zhahirnya bahwasanya allah swt.
Menyerupai makhluknya dalam hal bahwa dia mempunyai tangan, mata dan tempat.
2.5.2
Contoh Lafazh Mutasyabih
Contoh lafal dalam firman allah
swt.:
ÆìoYô¹$#ur y7ù=àÿø9$# $uZÏ^ãôãr'Î/ ……..$oYÍômurur
Artinya: “Dan
buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami”.(QS.Hud:37)
Dan firmanNya:
$tB…
Ücqà6t `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO wÎ) uqèd óOßgãèÎ/#u wur >p|¡÷Hs~ wÎ) uqèd öNåkÞÏ$y Iwur 4oT÷r& `ÏB y7Ï9ºs Iwur usYò2r& wÎ) uqèd óOßgyètB tûøïr& $tB (#qçR%x. (
§ …
Artinya: “Tiadalah
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melaingkan Dia-lah yang keempatnya. Dan
tiada (pembicaraan) antara lima orang, melaingkan Dia-lah yang keenamnya. Dan
tiada (pula) pembicaraan antara( jumlah) yang kurang dari itu atau lebih
banyak, melaingkan dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada…”(QS.
Al-Mujadalah: 7).
Ayat yang mengandung lafal yang mutasyabihat seolah-olah menyerukan
tuhan kepada makhluk-nya seperti lafal tangan, mata dan allah berada
di dekat manusia, tidak mungkin diketahui arti dan maknanya melalui bahasa
, karena Allah Mahasuci dari kemiripan dari makhluk-nya.
Dalam
menghadapi lafal Mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat. Para ulama salaf hanya menyerahkan kepada allah saja, karena
allah yang maha tahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia wajib
mengimaninya dan tidak mencari-cari ta’wilnya.
Adapun
pendapat ulama khalaf, maka bahwasanya ayat-ayat ini, zhahirnya mustahil, sebab
allah tidaklah bertangan, tidak pula bermata, tidak pula bertempat. Setiap
sesuatu yang zhahirnya mustahil dikehendakinya, maka wajib di ta’wilkan dan
dipalingkan dari yang zhahir ini, dan dimaksudkan makna yang mungkin bagi
lafazh itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan khaliq
dengan makhluknya. Firman allah swt.:
ßt……….. «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& ………
…..Tangan
allah diatas tangan-tangan mereka…..”(QS. Al-Fath:10)
Ta’wilnya adalah kekuasaan allah berada diatas kekuasaan mereka.
Firman allah swt.:
$tB…
Ücqà6t `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO
Artinya: “Tiadalah
pembicaraan rahasia antara tiga orang….”
Pentakwilanya
adalah bahwasanya allah swt. Bersama setiap orang yang saling berbicara secara
rahasia , dengan pengetahuannya dan pengawasannya. Demikian seterusnya.
Munculnya perbedaan
ini ialah perselisihan mereka mengenai firman allah swt. Mengenai halnya
ayat-ayat mutasyabihat:
$tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u
Artinya: “…..Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melaingkan allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :” Kami beriman
kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami”.(QS.Ali-Imran:7)
Barangsiapa
yang menjadikan pemberhentian (waqaf) pada lafaz keagungan (allah), maka ia berpendapat tiada
yang mengetahui mutasyabih kecuali allah, maka kami beriman kepadanya
dan menyerahkan pengertianya kepadanya, serta kami tidak mengkaji
pentakwilannya. Dan barangsiapa yang meletakkan pemberhentian (waqaf) pada
kata ÉOù=Ïèø9$#Îûbqãź§9$#ur , maka ia berpendapat: “Tiada yang mengetahui
takwilnya kecuali allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mngetahui
takwilnya dengan memaksudkan makna yang mungkin dikandung oleh lafazh dan
sesuai dengan pensucian Khaliq dari penyerupaan dengan makhluknya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Khafi adalah lafaz yang dari segi ketidakjelasan
timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu yang merupakan
bagian dari satuan-satuannya. Sehingga untuk menghilangkan kesamaran tersebut
diperlukan analisis dan pemikiran yang mendalam. Musykil adalah lafaz
yang memiliki kesamaran yang disebabkan dari lafaz itu sendiri karena
lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami
artinya. Karena hal tersebut, sehingga diperlukan qarînah untuk menjelaskan
maksudnya. Mujmal adalah lafaz yang dengan sighatnya tidak menunjukkan
arti yang dimaksud. Sehingga sebab
kesamarannya bersifat tekstual (lafzhiy) dan bukan hal yang datang kemudian. Mutasyâbbih
adalah lafaz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu
sendiri, sehingga tidak ada qarînah yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk
tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
3.2
Saran
Dalam
penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Daftar Pustaka
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus
Ilmu Ushul Fikih. Sumatra Utara : Amzah.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang:
Dina Utama Semarang.
Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Uman, Khairul dan H.A.Achyar Aminuddin. 1998. Ushul
Fiqhi II. Bandung:CV.Pustaka Setia.
Yahya, Mukhtar. 2000. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h.101
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,
PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007)
h.164
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Sumatra Utara : Amzah,2005),h.164
[11]
Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.265
[12] Mukhtar Yahya,
Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000) h.289-290